Selasa, 28 Juni 2011

PENGHUKUMAN


Makna dan Metode Penghukuman

The mood and temper of the public with regard to the treatment of crime and criminals is one of the unfailing tests of the civilization of any country” (Winston Churchill, 1910).

Definisi Penghukuman
            Penghukuman sudah ada seiring dengan eksistensi manusia. Manusia telah menciptakan aturan atau norma-norma yang harus dipatuhi dan menetapkan perilaku-perilaku yang akan dikategorikan sebagai perilaku yang melanggar norma atau aturan tersebut. Penciptaan aturan adalah sebagai upaya untuk membangun kehidupan bersama yang tertib sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat itu sendiri.
             Secara sederhana, penghukuman (punishment) dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan yang dikenakan terhadap seseorang atau sekelompok orang karena dianggap telah melakukan perbuatan jahat. Beberapa ahli berpendapat bahwa penghukuman adalah kondisi yang harus ada sebagai alat kontrol sosial. Van den Haag berpendapat bahwa penghukuman – jika bukan satu-satunya, atau pertama, atau alat terbaik agar orang dapat mematuhi hukum – adalah sesuatu yang tak dapat dihindari (punishment-if not only, or the first, or even the best means of making people obey laws-is ultimately indispensable).
H.L.A. Hart[1] mengkonstruksikan definisi penghukuman dengan mempersyaratkan adanya lima elemen, yaitu:
1.    It must involve pain or other consequences normally considered unpleasant.
2.    It must be for an offence against legal rules.
3.    It must be of an actual or supposed offender for his offense.
4.    It must be intentionally administered by human beings other than the offender.
5.    It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against which the offence is committed.

Terjemahan bebasnya:

1.    Adanya rasa sakit atau konsekuensi normal lainnya sebagai akibat perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.
2.    Dikenakan karena adanya pelanggaran terhadap aturan hukum.
3.    Dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum.
4.    Diatur secara sengaja oleh masyarakat.
5.    Penghukuman dijatuhkan dan dikenakan terhadap orang yang melakukan pelanggaran hukum oleh lembaga yang diberikan kewenangan secara sah secara hukum.


Hart mendasarkan pada fakta bahwa penghukuman harus dikenakan karena adanya pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan. Tanpa adanya penghukuman terhadap pelanggaran hukum justru dapat mengakibatkan demoralisasi terhadap orang-orang yang telah mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Emile Durkheim; unpunished deviance tended to demoralize the conformist.
Terhadap definisi yang diajukan oleh Hart, Herbert L. Packer[2] mengajukan satu elemen lagi untuk melengkapi pendapat Hart, yaitu penghukuman harus dikenakan untuk tujuan mencegah dilakukannya kembali perbuatan yang melanggar hukum atau mencegah adanya pembalasan dari pelaku kejahatan, atau keduanya.
Pendeskripsian tentang penghukuman juga diungkapkan oleh Jerome Hall yang menyatakan bahwa penghukuman mencakup enam komponen, yaitu sebagai berikut:
First, punishment is a privation (evil, pain, disvalue). Second, it is coercive. Third, it is inflicted in the name of the state; it is “authorized”. Fourth, punishment presupposes rules, their violation, and a more or less formal determination of that, expressed in a judgment. Fifth, it is inflicted upon an offender who has commited a harm, and this presupposes a set of values by reference to which both the harm and the punishment are ethically significant. Sixth, the extent or type of punishment is in some defended way related to the commission of the harm, and aggravated or mitigated by reference to the personality of the offender, his motives and temptation.[3]

Terjemahan bebasnya:

Pertama, penghukuman adalah suatu pengurangan (kejahatan, kesakitan, tidak bernilai). Kedua, penghukuman bersifat memaksa. Ketiga, penghukuman dikenakan atas nama negara; penghukuman merupakan ”kewenangan”. Keempat, penghukuman dianggap sebagai sebuah aturan, pelangaran terhadap aturan, ketetapan yang lebih atau kurang formal, ditetapkan dalam sebuah keputusan hukum. Kelima, penghukuman dikenakan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan, dan merupakan seperangkat nilai yang secara etis bersifat penting berkaitan dengan kejahatan dan penghukuman. Keenam,  penghukuman adalah dalam beberapa cara dipertahankan oleh komisi kejahatan, dan diperingan dengan didasarkan pada kepribadian, motivasi, dan niat pelaku.


Pendefinisian penghukuman juga dapat didasarkan pada teori penghukuman, yaitu; retributive, detterent, atau reformatory. Berdasarkan teori retributive, penghukuman adalah memberikan rasa sakit, yang diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan (by an appropriate authority), terhadap seseorang yang dianggap bersalah melakukan kejahatan. Definisi ini tidak mempermasalahkan tentang siapa yang memberikan kewenangan terhadap “an appropriate authority”, tetapi yang lebih penting adalah siapa yang dikenakan hukuman dan mengapa. Selain itu, dalam definisi ini juga menggunakan kata kejahatan (crime) untuk menunjukkan perilaku yang melanggar aturan, hukum, moral, atau hak-hak orang lain.
Dalam teori detterent, penghukuman adalah memberikan rasa sakit kepada seseorang dengan tujuan untuk mencegah orang tersebut mengulangi kejahatanya atau mencegah orang lain melakukan kejahatan. Penghukuman tidak ditujukan untuk me-reform pelaku. Dalam hal ini, me-reform diartikan sebagai upaya untuk menghindarkan diulanginya kejahatan, bukan ditujukan untuk takut terhadap hukuman. Penghukuman ditujukan untuk memberitahukan bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.
Sedangkan berdasarkan teori reformatory, penghukuman adalah memberikan rasa sakit terhadap seseorang untuk menghilangkan kecenderungan melakukan kejahatan.[4]
Berdasarkan beberapa definisi penghukuman di atas dapat disimpulkan bahwasannya untuk mendapatkan pendefinisian yang lebih lengkap harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas, misalnya menyangkut siapa yang dapat memberikan hukuman, perbuatan apa yang dapat dikenakan hukuman, dan apa tujuan dikenakan hukuman tersebut.

Metode Penghukuman
Perkembangan masyarakat, baik perkembangan secara sosial, ekonomi, maupun teknologi telah berpengaruh terhadap bentuk atau metode penghukuman. Richard W. Snarr[5] mengidentifikasi enam metode umum penghukuman, yaitu: banishment, capital punishment, corporal punishment, economic punishment, incarceration, dan bentuk intervensi lainnya.


  1. Banishment
Banishment merupakan metode penghukuman dengan cara memisahkan (membuang atau mengasingkan) pelaku kejahatan dari kehidupan masyarakat. Banishment ini merupakan metode penghukuman yang dianggap kejam dan memberikan rasa sakit. Bahkan merupakan metode penghukuman yang paling dihindari (ditakuti). Pada sebuah kasus, Socrates lebih memilih meminum secangkir racun daripada mendapatkan hukuman pengasingan (banishment).
  1. Capital Punishment
Metode penghukuman lain yang sudah dikenal sejak awal peradaban manusia adalah Capital punishment (hukuman mati). Capital punishment merupakan eksekusi yang dilakukan oleh negara (pemerintah) terhadap orang yang telah melakukan kejahatan yang bersifat spesifik dengan memberikan hukuman mati.[6]
Beberapa cara yang digunakan dalam melakukan eksekusi mati, misalnya dengan membakar (burning), menyalib (crucifixion), memenggal kepala (guillotine), digantung (hanging), kursi listrik (electrocution), suntik mati (lethal injection), dll.
Metode penghukuman ini dianggap sebagai metode penghukuman yang bertentangan dengan upaya-upaya untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku kejahatan. Hingga saat sekarang, metode penghukuman ini masih banyak diterapkan di beberapa negara, walaupun masih diperdebatkan efektifitasnya.
  1. Corporal Punishment
Metode penghukuman ini merupakan suatu metode penghukuman yang cenderung bertujuan untuk memberikan rasa sakit secara fisik terhadap pelaku kejahatan. Pemberian rasa sakit ini biasanya dilakukan dengan cara mencambuk atau memotong anggota tubuh pelaku kejahatan.Pemberian rasa malu juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam metode penghukuman ini, karena pengenaan hukuman akan dilakukan di hadapan publik (masyarakat). Masyarakat dapat mengetahui kejahatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan dan menyaksikan hukuman yang diterimanya.
  1. Economic Punishment
Economic punishment  merupakan metode penghukuman dengan mengambil harta pelaku kejahatan sebagai ganti atas kerugian yang diderita oleh korban kejahatan. Hilangnya pendapatan yang dialami oleh pelaku kejahatan akibat adanya penghukuman juga dapat dikategorikan sebagai metode penghukuman ini. Karena mungkin saja pelaku kejahatan merupakan orang yang mempunyai penghasilan yang baik, harta yang banyak, dan aset yang berlimpah. Pada masyarakat yang menempatkan status seseorang berdasarkan kepemilikan atas harta, metode penghukuman ini dianggap sebagai metode penghukuman yang efektif.
  1. Incarceration
Incarceration merupakan metode penghukuman dengan cara menempatkan pelaku kejahatan ke dalam pejara. Pada dasarnya, bentuk penghukuman ini ditujukan agar pelaku kejahatan tidak dapat melakukan kejahatannya lagi.
Incarceration merupakan metode penghukuman yang banyak diterapkan di negara-negara di dunia. Terdapat dua tipe metode penghukuman ini, yaitu[7]:
a.    Split sentences dan shock incarceration; pelaku kejahatan menjalankan hukuman di dalam penjara terlebih dahulu, dan kemudian dapat menjalankan sisa hukumannya di luar penjara. Bentuk hukuman ini mengkombinasikan adanya supervisi dari masyarakat dengan terlebih dahulu menjalani hukuman di dalam penjara.
b.    Incarceration; pelaku kejahatan menjalankan hukuman di dalam penjara berdasarkan keputusan hakim pengadilan.
Penjatuhan hukuman dengan metode incarceration ini lebih luas lagi dapat diklasifikasikan sebagai[8]: (1) nondiscretionary; (2) limited discretionary; dan (3) discretionary. Nondiscretionary berarti bahwa hakim tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan alternatif hukuman selain memenjarakan. Hakim tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan diskresi. Oleh karena itu, hukuman penjara menjadi alternatif yang harus dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan. Limited discretionary berarti bahwa hakim mempunyai kewenangan untuk memberikan bentuk hukuman lain, seperti pidana bersyarat (probation). Tetapi jika hakim memutuskan bentuk hukuman penjara maka masa hukuman tersebut dapat dikurangi dengan memberikan pembebasan bersyarat (parole). Discretionary berarti hakim mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam memberikan bentuk-bentuk hukuman, seperti penangguhan hukuman (suspend sentence), pidana bersyarat dengan jaminan (grant probation), atau apabila hakim memutuskan untuk memberikan hukuman kurungan (incarceration) maka lembaga parole dapat memberikan control selama menjalani hukuman kurungan tersebut.
  1. Detterence
Metode penghukuman yang lain adalah dengan memberikan rasa jera terhadap pelaku kejahatan (detterence). Metode penghukuman ini adalah ditujukan untuk melindungi masyarakat dari dilakukannya kejahatan dan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan.
Fungsi Penghukuman
Menurut Dirdjosisworo[9], secara historis, fungsi hukuman sebagai salah satu alat menghadapi kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang dan mengalami perubahan-perubahan serta perkembangan, dari satu cara yang bersifat pembalasan (retribution) terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan; terus berubah dan berkembang kearah fungsi hukuman (khususnya hukuman penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Jackson Toby dalam essainya yang berjudul Is Punishment Necessary mengungkapkan bahwa penghukuman merupakan sarana atau alat kontrol sosial yang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai alat pencegah kejahatan (punishment as a means of crime prevention), alat untuk mempertahankan moral orang-orang yang patuh (punishment as a means of sustaining the morale of conformists), dan sebagai alat untuk mereformasi pelaku kejahatan (punishment as a means of reforming the offender).[10]

Tujuan dan Kegunaan Penghukuman
Setiap masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda terhadap pengenaan suatu penghukuman terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap melakukan perbuatan jahat. Penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh satu masyarakat dapat saja mempunyai tujuan untuk mencegah dilakukannya kejahatan. Sedang pada masyarakat lain, penghukuman dijadikan sebagai sarana untuk melakukan reformasi terhadap pelanggar hukum. Louis P. Carney memberikan gambaran tentang tujuan penghukuman, yaitu sebagai berikut:
Punishment can expresses the collective societal disapproval for certain types of misbehavior. It provides an opportunity for atonement or expiation. It is designed to deter the offender and others for recidivism. It is catalyst for reformation. It seek to secure the common good. Punishment of the offender vicariously rewards those who obey the law[11].

Terjemahan bebasnya:

Penghukuman dapat menunjukkan bentuk ketidaksukaan masyarakat secara kolektif terhadap beberapa bentuk perilaku yang tidak sesuai. Penghukuman ini merupakan suatu kesempatan untuk melakukan penebusan kesalahan. Penghukuman didisain untuk mencegah agar pelaku dan masyarakat yang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dan merupakan katalisator untuk melakukan perubahan. Penghukuman ditujukan untuk mengamankan perbuatan-perbuatan yang secara umum dianggap baik. Penghukuman terhadap pelaku kejahatan dapat dianggap sebagai hadian bagi mereka yang mematuhi hukum.


Penghukuman mempunyai kegunaan yang hampir serupa dengan tujuan penghukuman. Dalam Encyclopedia of Prison and Punishment[12], penghukuman mempunyai empat kegunaan utama, yaitu: pembalasan (retribution), pemenjaraan (incapacitation), penjeraan (detterence), dan rehabilitasi (rehabilitation). Richard W. Snarr mengungkapkan hal yang sedikit berbeda tentang kegunaan penghukuman. Menurut Snarr[13], tujuan penghukuman adalah pembalasan (retribution), inkapasitasi (incapatitation), reintegrasi (reintegration), dan resosialisasi (resocialization).
1.      Retribution
Retribution (Pembalasan) merupakan paradigma penghukuman yang dianut oleh masyarakat kuno. Paradigma ini menitikberatkan pada pembalasan dendam (retaliation, revenge). Penjatuhan hukuman merupakan pembalasan (yang setimpal) atas penderitaan, kerugian, dan kemarahan masyarakat atas perbuatan pelaku kejahatan. Dalam teori retribution ini, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain. Korban harus diberikan kompensasi atas penderitaan yang mereka alami, baik perbuatan itu sengaja maupun tidak sengaja, dan pelaku kejahatan harus dijatuhi hukuman atas perbuatan jahat yang mereka perbuat.
Retribution ini didasarkan pada konsep lex talionist, yaitu pembalasan yang seimbang dan bersifat langsung. Dalam kitab Hebrew disebutkan; ”an eye for an eye, a tooth for a tooth, an arm for an arm, a life for a life.” Konsep lex talionist ini secara terang tertuang dalam kitab Hammurabi (Code of Hammurabi), sebagai berikut:
229. If a builder constructed a house for seignior (a feudal lord), but did not made his work strong, with the result that the house wich he built collapsed and so has caused the dead of the owner of the house, that builder shall be put to death.
230. If it has caused the death of a son of the owner of the house, they shall put the son of that builder to death.
231. If it has caused the death of a slave of the owner of the house, he shall give slave for slave to to the owner of the house.
232. If it has destroyed goods, he shall make good whatever it destroyed. Also, because he did not make the house strong which he built and it collapse, he shall reconstruct the house which collapse at his own expense.

Sir Walter Moberly berpendapat bahwa retribution harus didasarkan pada tiga hal, yaitu: (1) Pengenaan pembalasan adalah untuk memberikan rasa kesakitan terhadap orang yang telah melanggar kode atau aturan yang telah ditetapkan (Retaliatory retribution refers to the intentional infliction of an appropriate amount of suffering on a competant individual who has breached some code); (2) Adanya distributive retribution artinya bahwa pembalasan dikenakan secara terbatas hanya terhadap orang yang melakukan pelanggaran/kejahatan. (Distributive retribution means that retribution is restricted to individuals who have committedd offenses); (3) Adanya Quantitative retribution artinya bahwa pemberian derita tidak dapat melebihi batas. (Quantitative retribution involves the limitations so that inordinate suffering is not imposed).
Dalam teori retribution, untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan akan mendapatkan penghukuman harus memperhatikan dua hal, yaitu actus reus (a guilty act) dan mens rea (a guilty state of mind). Actus reus diartikan bahwa penghukuman akan dikenakan kepada pelaku kejahatan apabila mereka benar-benar telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan mens rea diartikan bahwa penghukuman tidak dapat dikenakan kepada mereka yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang mereka lakukan. Orang yang sakit jiwa merupakan salah satu contoh orang yang dianggap tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan sehingga mereka tidak dapat dikenakan hukuman.
Dasar pemikiran teori pembalasan/retribusi (retribution) biasanya dihubungkan dengan model pemidanaan justice model, berhubungan pula dengan konsep just deserts; pidana dijatuhkan karena pelakunya memang layak menerima hukuman tersebut. Dalam Encyclopedia of Prison and Punishment disebutkan:”The punishment theory of just desert involves the rational and moral justification of penalties for criminals who are said to “deserve” the punishment they receive for their crimes.”[14]
2.      Detterence
Paradigma Detterence (Penjeraan) bertitik tolak pada upaya untuk mencegah dilakukannya kejahatan. Setiap tindak kejahatan akan mendapat hukuman, dimana hukuman tersebut merupakan upaya untuk mencegah pelaku melakukan kembali tindak kejahatannya. Detterence ini mempunyai dua dasar pemikiran yaitu mencegah dilakukannya kembali kejahatan oleh pelaku kriminal (special detterence) dan mencegah agar masyarakat tidak melakukan kejahatan sebagaimana yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan (general detterence).
Pada perkembangannya, paradigma detterence tidak hanya didasarkan pada pemikiran untuk memberikan penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Pengenaan hukuman juga didasarkan pada upaya untuk mengubah pelaku kejahatan agar menjadi warga masyarakat yang mempunyai komitmen untuk mematuhi hukum. Hal ini diungkapkan oleh Barnes bahwa; detterence could occur in two ways: “through reinforcing the anti criminal values of society and changing criminals into non criminals.”[15] Pendapat Barnes ini memberikan satu penegasan bahwa paradigma detterence mempunyai dua tujuan, yaitu: pertama, untuk memperkuat nilai-nilai anti criminal; kedua, untuk mengubah pelaku kriminal menjadi tidak kriminal.
Ada tiga filsuf yang mempunyai kontribusi besar pada perkembangan teori detterence ini, yaitu Thomas Hobbes, Cecare Beccaria, dan Jeremy Bentham. Thomas Hobbes (1588-1679) merupakan tokoh yang mengenalkan teori kontrak sosial. Ada dua aspek penting dalam teori kontrak sosial ini, yaitu peraturan-peraturan apa yang harus dipatuhi dan hukuman yang akan diterima apabila melanggar peraturan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan teori detterence didasarkan pada alasan yang sederhana, yaitu untuk menyelamatkan dan menjaga agar kontrak sosial tersebut dapat terjaga atau terselenggara.
Cecare Beccaria (1738-1794) merupakan filsuf yang mempelopori bentuk penghukuman yang lebih manusiawi. Beccaria mengelaborasi dua aspek penting dalam penghukuman, yaitu proportionate punishment (penghukuman yang seimbang) dan the intended objects of punishment (tujuan penghukuman). Dalam pandangan Beccaria, proportionate punishment harus didasarkan pada besarnya kejahatan yang dilakukan; misalnya pencurian sepotong roti seharusnya tidak mendapatkan penghukuman yang berat. Sedangkan berkaitan dengan the intended objects of punishment, Beccaria berpendapat bahwa penghukuman perlu memperhatikan dampak penghukuman tersebut terhadap pelaku (specific detterence). Penghukuman ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan tersebut oleh pelaku.
Jeremy Bentham (1748-1832) mengelaborasi tiga aspek penghukuman  agar mempunyai dampak penjeraan, yaitu severity (kekerasan), certainty (kepastian), dan celerity (kecepatan). Dalam pandangan Bentham, penghukuman yang mempunyai dampak penjeraan adalah (a) mempunyai tingkat kecepatan yang menunjukkan tindakan yang serius, dan (b) pelaksanaan penghukuman adalah cepat dan  mempunyai kepastian.
3.    Incapacitation
Paradigma Inkapasitasi dapat diartikan sebagai upaya untuk menurunkan/menghilangkan kemampuan palaku kejahatan melakukan kejahatannya. Inkapasitasi (incapacitation) merupakan paradigma penghukuman yang berada pada transisi antara penghukuman yang bersifat reaktif dan proaktif.
Menurut Snarr, tindakan inkapasitasi dimaksudkan agar pelaku tidak dapat melakukan kembali perilaku jahatnya.[16] Bentuk dari inkapasitasi (yang paling umum digunakan) adalah pemenjaraan (incarceration). Tindakan pemenjaraan merupakan tindakan yang membatasi kemerdekaan pelanggar hukum. Tindakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah agar pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan.
Inkapasitasi berhubungan dengan model penjagaan (custodial model). Model  ini memandang bahwa perilaku pelanggar hukum tidak akan berubah melalui pemenjaraan tetapi paling tidak, dalam waktu tertentu (ketika pelanggar hukum dipenjara) ia tidak dapat melakukan tindakan yang mengancam masyarakat. Upaya melindungi masyarakat menjadi kepentingan yang dominan. Masyarakat terlindungi (dari kejahatan) ‘hanya’ pada saat pelaku kejahatan berada di penjara.
4.    Resosialization and Rehabilitation
Dasar pemikiran resosialisasi ini adalah bahwa pemidanaan dimaksudkan  sebagai sarana untuk menghilangkan keinginan/motivasi individu untuk melakukan kejahatan. Selama menjalani pidana, pelanggar hukum menjalani treatment berupa program konseling, pendidikan, dan pelatihan kerja.
Dasar pemikiran resosialisasi sering dihubungkan dengan model rehabilitasi (rehabilitation model). Rehabilitasi merupakan pembenaran atas digunakannya penghukuman, dimana penghukuman ini merupakan alat terakhir yang digunakan karena tidak berdayanya hukum (lawlessness).
Model rehabilitasi menganjurkan bahwa sanksi seharusnya digunakan untuk mengubah apa yang menyebabkan pelaku melakukan pelakukan kejahatan. Perubahan ini sebagai hasil dari intervensi yang direncanakan (seperti, partisipasi dalam program pembinaan narkoba) dan proses tersebut termasuk dalam melakukan perubahan secara individu (seperti, mengubah sikap dan perilaku mereka), atau memodifikasi lingkungan hidup pelaku dan kesempatan sosial (seperti, membantu mereka mendapatkan pekerjaan).

The rehabilitation model posits that sanctions should be used to change what caused the offender to commit crime in the first place. This change is the result of a planned intervention (e.g., participation in a drug treatment program) and the process may involve changing an individual (e.g., altering his or her attitudes and behaviors), or modifying the offender’s life circumtances and social opportunities (e.g., helping him or her find a job).[17]


Pembinaan dalam model ini lebih difokuskan pada upaya ‘memperbaiki’ individu pelanggar hukum. Pembinaan dimaksudkan untuk membantu individu agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Pelanggar hukum dianggap sebagai orang yang sakit. Upaya pembinaan difokuskan pada sumber penyakit (penyebab perilaku pelanggar hukum) bukan pada masyarakat atau institusi sosial yang mungkin telah gagal membantu/mengarahkan pilihan-pilihan tindakan pelanggar hukum sehingga ia memilih untuk melakukan kejahatan. Upaya pembinaan (perbaikan perilaku) difokuskan pada upaya ‘mengobati’ pelaku kejahatan, sementara perubahan masyarakat tidak dipentingkan.
Dasar filosofi model rehabilitasi ini adalah bahwa setiap individu seharusnya mendapat pembinaan yang berbeda yang didasarkan pada kebutuhan dan lingkungan tertentu yang memberikan kontribusi terhadap dilakukannya kejahatan. Oleh karena itu, model rehabilitasi adalah model yang komplek.


[1] H.L.A. Hart, Punishment and responsibility, Oxford: Oxford Unversity Press, 1968
[2] Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford; Stanford University Press, 1968.
[3] Dikutip dalam Richard W. Snaar, Introduction to Corrections, third edition, Madison, Dubuque.IA, Guifford,CT., Chicago, Toronto, London, Caracas, Mexico City, Benos Aires, Madrid, Bogota, Sydney; Brown & Benchmark publisher, 1996:54.
[4] K.G. Amstrong, The Retributivist Hits Back, dalam Stanley E. Grupp, ed. Theories of Punishment, Bloomington, London, Indiana University Press, 1971:pg.27.
[5] Richard W. Snaar, Introduction to Corrections, third edition, Madison, Dubuque.IA, Guifford,CT., Chicago, Toronto, London, Caracas, Mexico City, Buenos Aires, Madrid, Bogota, Sydney; Brown & Benchmark publisher, 1996:55-61.
[6] David Levinson, ed., Encyclopedia of Crime and Punishment, London, New Delhi, Sage Publication, 2002:159.
[7] Richard W. Snarr, op.cit.:68.
[8] Richard W. Snarr, ibid.:68.
[9]Soedjono Dirjosisworo, Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan), Bandung: Armico, 1984:11.
[10] Dikutip dalam Stanley E. Grupp, ed. Theories of Punishment, Bloomington, London, Indiana University Press, 1971:102-112.
[11] Louis P. Carney, Corrections; Treatment and Philosophy, New Jersey, Prentice Hall, Inc, 1980:11
[12] David Levinson, ed., Op.cit.: 1399.
[13] Richard W. Snaar, op.cit.
[14] David Levinson, ed., op.cit. 970.
[15] Dikutip dalam Richard W. Snaar, op.cit. 58
[16] Richard W. Snaar, ibid.:58.

[17] David Levinson, ed., op.cit. 1360.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar