Jumat, 17 Juni 2011

kajian akademis struktur organisasi pemasyarakatan


 




KAJIAN AKADEMIS



PEMBENAHAN FUNGSI DAN KEWENANGAN 
SERTA RESTRUKTURISASI ORGANISASI UPT





“Masa Depan Organisasi bergantung pada Sumber Daya Manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kapasitas diri, dan pada saat yang bersamaan Organisasi harus menciptakan iklim yang sehat bagi pengembangan diri
Sumber Daya Manusia yang dimilikinya”








KELOMPOK KERJA
PENATAAN DAN PENGUATAN ORGANISASI
TAHUN 2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Diskusi tentang desain struktur organisasi pada Kementerian Hukum dan HAM telah mengemuka sejak beberapa tahun yang lalu. Diskusi ini terutama terkait dengan bagaimana membangun desain struktur organisasi yang mampu menunjukkan adanya garis pertanggungjawaban kinerja secara jelas.
Pertanggungjawaban kinerja menjadi satu hal yang mengemuka, hal ini didasarkan pada kondisi riil Kementerian Hukum dan HAM. Disadari ataupun tidak, desain struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM dipandang belum memberikan sebuah garis pertanggungjawaban kinerja yang jelas, terutama berkaitan dengan Unit Utama yang mempunyai Unit Pelaksana Teknis di daerah. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI hanya memuat tentang tugas dan fungsi Unit Utama. Permenkumham ini belum mengatur tentang pola hubungan dan mekanisme kerja antara Unit Utama dengan Unit Pelaksana Teknis.
Berkaitan dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, pola hubungan dan mekanisme kerja diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak. Berdasarkan peraturan dan beberapa keputusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam garis birokrasi struktural Kementerian Hukum dan HAM, Kepala UPT Pemasyarakatan bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil bertanggungjawab langsung kepada Menteri. Posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada di bawah organisasi kementerian dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Sedangkan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas), bertanggungjawab kepada Kakanwil. Dengan demikian, tidak ada garis struktural secara langsung antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan, dan Kepala UPT Pemasyarakatan.
Dengan melihat desain organisasi sebagaimana diatur dalam peraturan maupun keputusan menteri tersebut sebenarnya dapat disampaikan bahwasannya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (kajian akademik ini difokuskan pada pola hubungan dan mekanisme kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak mempunyai garis kerja dengan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan hanya ditempatkan sebagai unit yang menetapkan kebijakan teknis di bidang pemasyarakatan, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan teknis tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa Direktur Jenderal Pemasyarakatan tidak ubahnya seperti kepala kantor yang hanya bertanggung jawab terhadap kegiatan pada lingkup kantor pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Apa yang terjadi berkaitan dengan pola hubungan dan  mekanisme kerja pada Direktorat jenderal Pemasyarakatan dengan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan juga terjadi pada unit kerja lain, seperti pada Direktorat Jenderal Imigrasi dan Unit Pelaksana Teknisnya. Direktorat Jenderal Imigrasi pun hanya ditempatkan sebagai unit kerja yang menetapkan kebijakan teknis di bidang keimigrasian, dan tidak mempunyai garis kerja dengan unit pelaksana teknis imigrasi.
Kondisi sebagaimana diungkapkan di atas lah yang telah memunculkan diskusi tentang pentingnya melakukan perubahan struktur organisasi (restrukturisasi) Kementerian Hukum dan HAM, terutama berkaitan dengan upaya mempertegas pola hubungan dan mekanisme kerja antara Unit utama dengan Unit Pelaksana Teknisnya. Restrukturisasi organisasi ini dipandang sebagai satu hal yang penting untuk segera dilakukan mengingat fungsi yang diemban oleh Kementerian Hukum dan HAM sangat beragam dan masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Fungsi Keimigrasian tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan fungsi Pemasyarakatan, atau fungsi di bidang hak kekayaan intelektual. Dan tentunya, terhadap keberagaman tersebut perlu dilakukan proses manajemen organisasi yang tepat, yang salah satunya tercermin pada desain struktur organisasi.
Dalam tataran akademis, struktur organisasi mempunyai korelasi dengan pencapaian tujuan organisasi. Pembentukan struktur organisasi harus didasarkan pada apa yang menjadi tujuan organisasi. Kemampuan mendesain struktur organisasi akan sangat berdampak positif pada pencapaian tujuan organisasi, karena struktur organisasi tersebut mampu mengendalikan dan menyalurkan perilaku individu dan kelompok untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi, efisiensi, kepuasan, penyesuaian diri, dan pengembangan.
B.      Pertanyaan
Bahwa desain struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM (dalam hal ini studi kasus pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan UPT Pemasyarakatan) belum memberikan kontribusi yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi. Hal ini terutama terkait dengan belum adanya pola hubungan kerja (kalau tidak boleh dikatakan tidak ada garis hubungan kerja) antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan. Dalam tataran praktis dapat dikemukakan bahwa seringkali ketika terjadi permasalahan di Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, masyarakat meminta pertanggungjawaban terhadap Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada pemahaman masyarakat bahwa Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Padahal jika melihat desain struktur organisasi pada Kementerian Hukum dan HAM yang berlaku sekarang, Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah.
Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana membangun desain struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM yang dapat menunjukkan garis pertanggungjawaban yang jelas antara unit utama dengan unit pelaksana teknisnya? Dan bagaimana agar struktur organisasi tersebut mampu menjadi pengungkit tercapainya tujuan organisasi?

C.     Dasar Pemikiran
Hakikat  sebuah organisasi adalah adanya sesuatu yang harus dikerjakan, dengan kata lain, raison d’etre suatu organisasi adalah to get the job done. Oleh karena itu, setiap organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi bisnis, maupun organisasi nonprofit, mempunyai karakteristik yang sama, antara lain, setiap orang yang bekerja dalam organisasi itu dibagi menurut ketrampilan dan kewenangannya, dan tanggung jawab masing-masing telah diatur oleh peraturan yang berlaku. Setiap orang bekerja sesuai rincian tugas yang disediakan baginya dan menurut aturan umum yang berlaku.
Pelaksanaan tugas dalam sebuah organisasi telah diatur sedemikian rupa sehingga pelaksanaan tugas tersebut diharapkan memberikan hasil yang optimal bagi organisasi. Hasil kerja inilah yang mencerminkan tingkat kinerja organisasi.
Kinerja organisasi bukan merupakan hasil kerja yang berdiri sendiri. Kinerja organisasi merupakan akumulasi dari hasil kerja dari setiap anggota organisasi dan merupakan akumulasi kinerja dari setiap sub sistem dalam organisasi.
Untuk mendukung kinerja organisasi inilah perlu dibentuk sebuah struktur organisasi. Tujuan dari struktur organisasi adalah mengendalikan perilaku, menyalurkan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai apa yang dianggap menjadi tujuan dari organisasi.
Struktur organisasi sangat berhubungan dengan 4 hal sebagai berikut[1]:
1. Seluruh tugas dipecah dalam beberapa pekerjaan yang lebih kecil yang berturutan. Yakni tugas dibagi-bagi atau dikhususkan di antara orang-orang dalam unit itu. Ini merupakan masalah pembagian pekerjaan (division of labor).
2. Pekerjaan individual digabungkan kembali dan dikelompokkan jadi satu. Ditentukan dasar umum untuk mencarikan alas an bagi pengelompokkan ini. Masalah ini menyangkut departementalisasi (departementalization).
3. Ukuran yang tepat bagi kelompok yang melapor kepada satu alas an harus ditentukan; ini menyangkut masalah rentang kendali (span of control).
4. Wewenang dibagi-bagikan di antara pekerjaan atau kelompok pekerjaan.Ini merupakan masalah delegasi (delegalization).
Pembagian kerja; berkaitan dengan sampai seberapa jauh pekerjaan itu dispesialisasi. Semua pekerjaan dispesialisasi sampai suatu tingkat dan kemampuan untuk membagi pekerjaan di antara banyak pemegang pekerjaan (jobholders) dalam keuntungan utama dari organisasi.
Departementalisasi; menggabungkan tugas-tugas yang dibagi-bagi ke dalam kelompok. Yang terpenting adalah memilih suatu dasar bagi penggabungan pekerjaan. Beberapa dasar dalam melakukan departementalisasi, adalah:
a.        Departementalisasi fungsional;
b.        Departementalisasi territorial;
c.        Departementalisasi produk;
d.        Departementalisasi pelanggan;
e.        Departementalisasi bisnis proses;
f.         Departementalisasi campuran.
Rentang kendali; penentuan untuk menetapkan jumlah pekerjaan yang harus dimasukkan ke dalam kelompok khusus. Berapakah orang yang dapat diawasi oleh seorang manajer.
Pelimpahan wewenang; hal ini berhubungan dengan hak yang dilimpahkan kepada manajer untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan dari manajemen yang lebih tinggi.
Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi formal serta pola interaksi yang akan diikuti.
Struktur organisasi mempunyai tiga komponen[2]:
1.        Kompleksitas; mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi. Termasuk didalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan di dalam hierarkhi organisasi, serta tingkat sejauhmana unit-unit organisasi tersebar secara geografis.
2.        Formalisasi; tingkat sejauhmana sebuah organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur perilaku dari para pegawainya.
3.        Sentralisasi; mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan (sentralisasi atau desentralisasi).
Pembentukan struktur organisasi harus didasarkan pada apa yang menjadi tujuan organisasi. Kemampuan mendesain struktur organisasi akan sangat berdampak positif pada pencapaian tujuan organisasi, karena struktur organisasi tersebut mampu mengendalikan dan menyalurkan perilaku individu dan kelompok untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi, efisiensi, kepuasan, penyesuaian diri, dan pengembangan.
Walaupun seringkali, desain struktur yang ada hanya menggambarkan dan membantu tujuan pribadi individu atau kelompok tertentu. Oleh karenanya, penting untuk tetap mendudukkan struktur organisasi sebagai sebuah produk bersama untuk pencapain tujuan organisasi.
Pada organisasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, desain struktur organisasinya harus disusun sedemikian rupa agar pembagian tugas dan pelaksanaan wewenang dari masing-masing unit dapat mendukung tercapainya kinerja organisasi.


D.     Tujuan
Tujuan dilakukannya restrukturisasi organisasi pada Kementerian Hukum dan HAM ini adalah:
1.        Adanya desain struktur organisasi yang tepat fungsi dan tepat sasaran;
2.        Adanya pola hubungan dan mekanisme kerja yang jelas antara Unit Utama dengan Unit Pelaksana Teknisnya;

E.      Manfaat
Manfaat yang akan diperoleh adalah:
1.        Tercapainya kinerja organisasi yang efektif dan efisien serta menghindarkan terjadinya tumpang tindih tugas dan kewenangan;
2.        Adanya garis pertanggungjawaban yang jelas terhadap kinerja Unit Utama dan Unit Pelaksana Teknis;

BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN ANALISA

A.     Landasan Filosofis
Jika merujuk pada dasar teoritis, pencapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh desain struktur organisasi, maka pada tataran praktis di Kementerian Hukum dan HAM (studi kasus pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan), desain struktur organisasinya pun harus didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai. Secara umum, tujuan yang ingin dicapai pada pelaksanaan tugas Pemasyarakatan adalah untuk mengintegrasikan kembali pelanggar hukum dalam kehidupan masyarakat secara sehat dan bertanggung jawab. Pengintegrasian ini tentu saja tidak diartikan secara sempit, yaitu hanya berfokus pada terpidana atau narapidana, akan tetapi bahwa tujuan pengintegrasian ini akan dapat diwujudkan apabila hak-hak pelanggar hukum (baik hak keperdataan, hak kebendaan, maupun hak hukumnya) dapat dilindungi.
Dalam tataran filosofis, gagasan Pemasyarakatan, yang pertama kali dikemukakan oleh Dr. Sahardjo, merupakan sebuah gagasan yang ingin memberikan penekanan bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Menurutnya, bahwa “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia dipenjarakan”. Dan “tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat”. Hal ini mengandung makna bahwa pemenjaraan harus diletakkan dalam kerangka untuk membangun para pelanggar hukum agar mereka dapat kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Pemikiran inilah yang kemudian dituangkan dalam pasal 2 Undang-Undang Pemasyarakatan, bahwa : Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Sistem Pemasyarakatan ingin memberikan sebuah makna bahwa Negara harus dapat membangun kapasitas pribadi para pelanggar hukum agar menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam pendekatan system pemasyarakatan, membangun kapasitas tersebut dilaksanakan melalui pembinaan yang berkesinambungan, sistematis, dan terarah dengan mengedepankan perlakuan yang manusiawi dan menghormati hak-hak mereka sebagai manusia.

Tentunya, agar tujuan pengintegrasian kembali warga binaan pemasyarakatan dapat tercapai, dibutuhkan desain struktur organisasi yang tepat fungsi dan tepat sasaran. Artinya, desain struktur organisasi Pemasyarakatan (baik pada tingkat Direktorat Jenderal maupun Unit Pelaksana Teknis) harus mencerminkan tugas dan fungsi yang mesti dijalankan, serta memberikan kejelasan tentang garis kewenangan antara Direktorat jenderal dengan Unit Pelaksana Teknisnya.
Pentingnya membangun desain struktur organisasi Pemasyarakatan yang efektif dan efisien ini sebenarnya juga menjadi fokus dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung, tanggal 28 April sampai dengan 7 Mei 1964. Pada konferensi ini disetujui beberapa hal terkait dengan struktur organisasi, yaitu[3]:
1.        Menjetudjui supaja oleh tiap-tiap Lembaga/kantor Pemasjarakatan selekas mungkin disusun organisasinja dan dibuat organisasi kaart (pola diberi dari kantor Pusat Direktorat) guna pelaksanaan technis pemasjarakatan jang effectief dan efficient.
2.       
3.        Mendesak didirikannja ditiap2 daerah kesatuan pemasjarakatan suatu unit bangunan2 jang lengkap dengan alat2nja untuk dapat melakukan usaha2 sebaik-baiknja dalam mengetrapkan system pemasjarakatan.
4.       
5.        Mendesak supaja organisasi baru direktorat segera disjahkan dengan surat keputusan, begitu pula nama2 baru.
Sejak pelaksanaan Konferensi Lembang Bandung tersebut, struktur organisasi Pemasyarakatan telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terhadap struktur organisasi Pemasyarakatan ini dilakukan dengan melakukan penyesuaian pada nomenklatur institusi maupun jabatan, baik pada tingkat Direktorat Jenderal maupun Unit Pelaksana Teknis.
Pada tahun 1985, terjadi perubahan yang cukup drastic pada desain struktur Kementerian Hukum dan HAM (pada waktu itu Departemen Kehakiman) yang mana hal ini secara langsung berdampak pula pada struktur organisasi Pemasyarakatan. Desain organisasi dengan tipe holding (holding type) yang pada waktu itu diterapkan pada Departemen kehakiman diubah dengan mengadopsi tipe integrated (integrated type). Perubahan ini berdampak pada dihapuskannya Kantor Wilayah Pemasyarakatan (Kawip) dan dibentuknya kantor wilayah baru yaitu kantor wilayah kehakiman yang salah satunya menaungi Kawip tersebut. Tentu saja hal ini juga berdampak pada terputusnya jalur komando antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Unit Pelaksana Teknis, karena Unit Pelaksana Teknis berada di bawah Kantor Wilayah Kehakiman. Kondisi ini pula yang hingga saat sekarang menyisakan permasalahan pada pelaksanaan tugas Pemasyarakatan.

B.      Landasan Yuridis
Membangun desain struktur organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran serta adanya pendelegasian wewenang telah diatur pada beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatur secara tegas tentang tugas, fungsi, dan susunan organisasi Kementerian Negara. Pengaturan ini mengandung makna bahwasannya untuk membangun system pemerintahan yang efektif dan efisien harus didukung dengan manajemen organisasi pemerintahan yang tepat, termasuk didalamnya struktur organisasi dan pendelegasian kewenangan.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Kementerian Negara menyebutkan bahwa; Susunan organisasi kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) terdiri atas unsur:
a.        Pemimpin, yaitu menteri;
b.       Pembantu pemimpin, yaitu secretariat jenderal;
c.        Pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d.       Pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e.        Pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
Penetapan unsur dan fungsi yang diemban sebagaimana dimaksud pada pasal di atas memberikan pemahaman bahwa setiap unsur di dalam organisasi pemerintahan mempunyai kedudukan tertentu serta mengemban fungsi tertentu pula. Dengan demikian, memosisikan setiap unsure dalam organisasi pemerintahan (kementerian/lembaga) secara tepat adalah satu hal yang harus dilakukan.
Pelaksanaan Undang-Undang Kementerian Negara selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Pasal 27 ayat (1) Susunan organisasi Kementerian yang menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (1) terdiri atas unsur: 
a.        Pemimpin, yaitu Menteri;
b.       Pembantu pemimpin, yaitu secretariat jenderal;
c.        Pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d.       Pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e.        Pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
f.         Pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini mempertegas kembali kedudukan setiap unsur dalam organisasi kementerian/lembaga. Bahwa unsur secretariat jenderal adalah unsure pembantu pemimpin sedangkan direktorat jenderal adalah unsure pelaksana. Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan; Sekretariat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian. Pasal 31; Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a.        Koordinasi kegiatan Kementerian;
b.       Koordinasi dan penyusunan rencana dan program Kementerian;
c.        Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan, arsip dan dokumentasi Kementerian;
d.       Pembinaan dan penyelenggaraan organisasi dan tata laksana, kerja sama, dan hubungan masyarakat;
e.        Koordinasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan dan bantuan hukum;
f.         Penyelenggaraan pengelolaan barang milik kekayaan Negara; dan
g.        Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
Sedangkan Pasal 33 ayat (1): Direktorat Jenderal berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri; Ayat (2) Direktorat Jenderal dipimpin oleh Direktur Jenderal. Pasal 34; Direktorat jenderal mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidangnya. Pasal 35; Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a.        Perumusan kebijakan Kementerian di bidangnya;
b.       Pelaksanaan kebijakan kementerian di bidangnya;
c.        Penyusunan norma, satandar, prosedur, dan criteria di bidangnya;
d.       Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
e.        Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
Sebagai unsur pelaksana, maka Direktorat Jenderal harus mempunyai garis kewenangan yang jelas terhadap Unit Pelaksana Teknisnya. Karena, Direktorat Jenderal inilah yang akan betanggung jawab secara penuh terhadap pencapaian kinerja Unit Pelaksana Teknis.
Kejelasan tentang pertanggungjawaban Unit Pelaksana Teknis kepada Direktorat Jenderal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER 18/M.PAN/11/2008 Tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis Kementerian dan Lembaga Non Kementerian. Dalam konsideran peraturan ini disebutkan bahwa untuk mewujudkan organisasi Unit Pelaksana Teknis yang proporsional, responsif, adaptif, inovatif dan memiliki kemandirian dalam pengelolaannya perlu menyempurnakan organisasi Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri ini menyebutkan bahwa Unit Pelaksana Teknis, yang selanjutnya dalam Peraturan ini disebut UPT, adalah organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu dan/atau tugas teknis penunjang tertentu dari organisasi induknya. Organisasi induk adalah unit organisasi pada Kementerian atau LPNK yang membawahkan UPT yang bersangkutan.
Peraturan menteri ini juga mengatur secara tegas tentang pola hubungan antara Direktorat jenderal dengan Unit Pelaksana Teknis. Pasal 2 ayat (1) UPT Kementerian atau LPNK berada di bawah Direktorat Jenderal/Badan/Deputi/Direktorat/Pusat sesuai dengan ruang lingkup pelaksanaan tugas dan fungsinya. Pasal 3, Penetapan kedudukan UPT ditentukan berdasarkan:
a.  Kesesuaian ruang lingkup tugas dan fungsi UPT dalam melaksanakan tugas unit organisasi induknya;
b.       Hubungan pertanggungjawaban antara UPT yang bersangkutan dengan organisasi induknya;
c.        Efektifitas, kebutuhan koordinasi, dan hubungan kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsi UPT.
Selanjutnya, Peraturan Menteri ini mengamanatkan agar pembenahan terhadap pola hubungan antara Direktorat Jenderal dengan Unit Pelaksana Teknis ini dilakukan dalam jangka waktu satu tahun. Pasal 30 ayat (1) Bagi UPT yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada instansi vertical dialihkan menjadi berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal yang tugas dan fungsinya bersesuaian.
Ayat (2) Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan ini.
Berkaitan dengan klasifikasi Unit Pelaksana Teknis, disebutkan dalam Pasal 92 ayat (1) Kepala Unit Pelaksana Teknis adalah jabatan structural setinggi tingginya eselon IIIa. Ayat (2) Bagi Unit Pelaksana Teknis yang pada saat berlakuknya peraturan Presiden ini telah ditetapkan sebagai jabatan structural eselon IIa atau eselon IIb  tetap berlaku dan akan dilakukan evaluasi.
Selanjutnya, terhadap Unit Pelaksana Teknis dapat dilakukan pengklasifikasian dan pembedaan berdasarkan tipologinya. Pasal 14 ayat (1) Apabila jumlah suatu jenis UPT di lingkungan Kementerian/LPNK mempunyai variasi dilihat dari volume/beban kerja, maka pada UPT tersebut dilakukan klasifikasi berdasarkan criteria; ayat (2) Apabila jumlah suatu jenis UPT di lingkungan Kementerian/LPNK mempunyai variasi dilihat dari karakteristik jenis, sifat tugas, dan lingkungan organisasi, maka pada UPT tersebut dapat dilakukan tipologi.
Beberapa peraturan perundang-undangan di atas telah menjadi dasar hukum untuk melakukan restrukturisasi organisasi Kementerian Hukum dan HAM. Karena, desain struktur organisasi Kementerian Hukum dan HAM dipandang masih belum selaras dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Munculnya Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 memperkuat semangat tentang pentingnya pembenahan organisasi Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam lampiran Instruksi Presiden ini dimuat tentang beberapa aspek yang perlu segera dibenahi dalam organisasi Kementerian Hukum dan HAM, yang salah satunya berkaitan dengan pembenahan struktur organisasi. Pada poin 13 disebutkan bahwa rencana aksi bagi Kementerian Hukum dan HAM adalah perubahan struktur organisasi sesuai dengan Peraturan Menpan Nomor PER/18/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Organisasi UPT Kementerian dan Lembaga Pemerintah non Kementerian. Adapun keluaran dari rencana aksi ini adalah:
1.        Perubahan Permenkumham Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM
2.        Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
3.        Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
4.        Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
5.        Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
Sasaran yang ingin dicapai dari rencana aksi ini adalah disahkannya Permenkumham sebagaimana dimaksud, yang substansi di dalam Permen ini memuat hal-hal sebagai berikut:
1.  Ditjen Pemasyarakatan memiliki garis kewenangan, tanggung-jawab dan tata kerja yang tegas terhadap Divisi Pemasyarakatan dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan (UPT);
2. Ditjen Pemasyarakatan mempunyai otonomi dalam pengelolaan SDM, sarana prasarana, pengawasan internal, dan keuangan;
3.     Penguatan fungsi Divisi Pemasyarakatan dengan menjadikan sebagai Satuan Kerja.

C.     Landasan Sosiologis
Masyarakat mempunyai harapan yang besar terhadap kinerja institusi penegak hukum, termasuk di dalamnya kinerja institusi Pemasyarakatan. Pemasyarakatan merupakan sebuah institusi yang terbangun dari petugas-petugas yang secara fungsional berperan dalam proses penegakan hukum. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, menyatakan secara tegas bahwa: ”Petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum”.
Peran yang dijalankan oleh petugas Pemasyarakatan ini telah menempatkan institusi Pemasyarakatan sebagai sub system dalam system peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana (SPP) terbangun dari sub-sub system yang saling terhubung dan bekerja sama dalam kerangka mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang tertib. Dalam bahasa Prof. Muladi[4], penyelenggaraan SPP dilakukan dengan mengedepankan kerjasama dan koordinasi di antara sub-sub system yang berada di dalamnya sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan dalam penegakan hukum sehingga tercapai tujuan SPP, yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pengendalian dan pencegahan kejahatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara institusional, Pemasyarakatan, sebagai sub system dalam SPP, mengemban tugas untuk mengintegrasikan kembali pelanggar hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam tataran yang ideal, pengintegrasian ini dimaknai sebagai terwujudnya hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan pelanggar hukum. Clemens Bartolas menyatakan ada tiga asumsi dasar diperlukannya model reitegrasi, yaitu: pertama, bahwa permasalahan yang menyangkut pelaku kejahatan harus dipecahkan bersama dengan masyarakat dimana mereka berasal. Kedua, masyarakat mempunyai tanggung jawab terhadap masalah yang terjadi menyangkut pelaku kejahatan dan tanggung jawab masyarakat dapat ditunjukkan dengan membantu pelanggar hukum tersebut untuk dapat mematuhi hukum yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, masyarakat harus memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk mengembangkan perilaku yang taat hukum, dan pelaku kejahatan harus belajar untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Asumsi ketiga, bahwa kontak dengan masyarakat bertujuan untuk mencapai tujuan dari reintegrasi itu sendiri. Pelaku kejahatan harus didekatkan dengan peran-peran normal sebagai warga masyarakat, anggota keluarga, dan pekerja.[5]
Dan untuk mencapai cita dari Pemasyarakatan ini, pelaksanaan tugas dan fungsi Pemasyarakatan harus dijalankan sejak proses pra-adjudikasi hingga adjudikasi. Hal ini penting agar “keretakan hubungan” antara pelanggar hukum dengan masyarakat dapat direkatkan sedini mungkin. Pemasyarakatan, yang pada tataran operasional dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan, yang meliputi Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, Balai Pemasyarakatan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, menjalankan peran strategisnya pada setiap tahap penegakan hukum.
Oleh karena itu, agar tujuan pelaksanaan tugas Pemasyarakatan dapat tercapai, membangun desain struktur organisasi Pemasyarakatan yang tepat fungsi dan tepat sasaran, dimana didalamnya termasuk mengatur pola hubungan dan mekanisme kerja antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan adalah satu hal yang harus dilakukan. Dengan demikian, harapan masyarakat tentang tingkat kinerja Pemasyarakatan yang optimal dapat terpenuhi.

D.     Kondisi Terkini
Pelaksanaan tugas pada UPT Pemasyarakatan belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hal ini tercermin pada hasil survey layanan publik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Survey integritas layanan publik yang dilakukan oleh KPK telah menempatkan Pemasyarakatan sebagai salah satu institusi yang nilai layanan publiknya berada pada level yang rendah. Pada tahun 2008, nilai pelayanan publik Pemasyarakatan berada pada tataran ......, dan pada tahun 2009, nilai integritas pelayanan publik Pemasyarakatan adalah ......
Rendahnya indeks pelayanan publik Pemasyarakatan ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa aspek, salah satunya adalah aspek manajemen organisasi. Manajemen organisasi pada Kementerian Hukum dan HAM (khususnya UPT Pemasyarakatan) tidak mencerminkan adanya upaya untuk terwujudnya efisiensi dan efektifitas. Jika merujuk pada dokumen cetak biru pembaharuan pelaksanaan sistem pemasyarakatan, dapat dikemukakan bahwa dalam garis birokrasi struktural Kementerian Hukum dan HAM, Kepala UPT Pemasyarakatan bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil bertanggungjawab langsung kepada Menteri. Posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada di bawah organisasi kementerian dan bertanggung jawab kepada Menteri. Sedangkan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas), bertanggungjawab kepada Kakanwil. Dengan demikian, tidak ada garis struktural secara langsung antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan, dan Kepala UPT Pemasyarakatan.
Hubungan antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan, dan UPT Pemasyarakatan hanya bersifat teknis fungsional. Sebagai contoh dalam Pasal 69 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa bimbingan teknis Pemasyarakatan kepada Lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan. Demikian juga dalam Pasal 61 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Kehakiman No: M – 01.PRa.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah yang menyebutkan bahwa Kepala Divisi Pemasyarakatan, dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal atau Kepala Badan yang bersesuaian melalui Kepala Kantor Wilayah. Dalam hal-hal tertentu yang bersifat teknis, Kepala Divisi Pemasyarakatan dapat melaporkan pelaksanaan tugasnya langsung kepada Direktur Jenderal atau Kepala Badan yang bersesuaian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.
Di sisi ini terlihat dualisme tata hubungan dalam tatanan struktural dan teknis organisasi, di mana secara struktur organisasi yang sama-sama menjalankan fungsi pemasyarakatan itu tunduk pada hierarki organisasi strukturalnya masing-masing meskipun secara teknis organisasi-organisasi tersebut saling berhubungan. Bidang struktural yang menitikberatkan pada dukungan fasilitatif, kepegawaian dan anggaran kepada bidang teknis yang menjalankan fungsi-fungsi Pemasyarakatan sejatinya berada dalam satu hierarki manajemen terpadu. Dalam banyak hal, tata hubungan  tersebut tidak terselenggara dalam sistem organisasi Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan HAM.
Pada akhirnya sistem ini menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam keberhasilan kinerja sistem pemasyarakatan secara keseluruhan.
Hasil penilaian kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang menunjukkan potret kinerja yang belum optimal, sebagai berikut:

REKAPITULASI HASIL EVALUASI KINERJA DITJEN PEMASYARAKATAN
NO
ASPEK
BOBOT NILAI MAKSIMUM
PENILAIAN HASIL EVALUASI
PERSENTASE CAPAIAN
1.         
Kepemimpinan
8.00
3.27
40.90%
2.         
Perencanaan kinerja
12.00
5.61
46.76%
3.         
Organisasi
6.00
1.17
19.44
4.         
Manajemen SDM
8.00
1.90
23.72%
5.         
Penganggaran
4.00
1.33
33.33%
6.         
Pengukuran, analisa, dan manajemen informasi kinerja
9.00
2.26
25.12%
7.         
Manajemen proses
8.00
0.83
10.42%
8.         
Capaian hasil
45.00
2.00
4.44%

Total
100.00
18.37
18.37%








BAB III
DESAIN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN DAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN

A.     Pembenahan Kewenangan dan Desain Struktur
Sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa pembentukan struktur organisasi berkaitan dengan empat aspek, yaitu: pembagian pekerjaan, departementalisasi, rentang kendali, dan pendelegasian wewenang. Dan dalam pembentukan desain struktur organisasi, memilih suatu dasar bagi penggabungan pekerjaan (departementalisasi) merupakan satu hal yang penting.
Dalam membentuk desain struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan campuran, yaitu antara pendekatan proses bisnis (departementalisasi bisnis proses) dan pendekatan fungsi (deparementalisasi fungsi).
Dan dalam membangun desain struktur organisasi tersebut, memperjelas pola hubungan dan mekanisme kerja yang jelas antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan juga menjadi hal yang dilakukan secara bersamaan.

1.       Pembenahan Fungsi dan Kewenangan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebagai unsur pelaksana, tidak hanya diposisikan sebagai unit yang merumuskan kebijakan teknis di bidang pemasyarakatan, tetapi juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan kontroling terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan unit utama yang akan mempertanggungjawabkan kinerja Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan. Oleh karena itu, Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan akan ditempatkan di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Keberadaan Divisi Pemasyarakatan tetap menjadi satu aspek yang strategis. Hal ini untuk memperpendek rentang kendali antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan. Dan untuk sementara, Divisi Pemasyarakatan masih berada pada lingkup Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Namun demikian, Kepala Divisi Pemasyarakatan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan karena Divisi Pemasyarakatan merupakan kepanjangan tangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kepala Kantor Wilayah hanya berperan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di dalam lingkup kantor wilayah.
Kepala Divisi Pemasyarakatan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan terhadap segala aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, seperti pengelolaan kepegawaian, pengelolaan keuangan, dan pengelolaan administrasi lainnya. Dan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan ini, Kepala Divisi Pemasyarakatan ditetapkan sebagai satuan kerja (satker).
Untuk kepentingan pembenahan fungsi dan kewenangan tersebut, Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) akan mengajukan perubahan terhadap beberapa peraturan dan keputusan menteri kehakiman, yaitu:
a.      Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI;
b.    Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan;
c.     Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara;
d.  Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.
Sebagai konsekuensi logis dari pembenahan fungsi dan kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan, maka restrukturisasi organisasi pada Direktorat Jenderal dan Divisi Pemasyarakatan merupakan satu hal yang harus segera dilakukan. Struktur organisasi pada Direktorat Jenderal dan Divisi Pemasyarakatan akan dilakukan penyesuaian secara tepat agar tujuan pembenahan fungsi dan kewenangan tersebut mampu memberikan kinerja yang terbaik.

2.       Desain Struktur Organisasi UPT Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas utama melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pelaksanaan tugas pembinaan ini dilaksanakan sejak narapidana dan anak didik pemasyarakatan ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan hingga mereka dibebaskan (baik bebas karena masa pidanaya telah habis maupun bebas karena mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, maupun cuti bersyarat).
Dan untuk melaksanakan pembinaan tersebut, proses bisnis yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
a)      Proses Admisi Orientasi
Proses admisi orientasi ini diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan pendataan secara komprehensif dan memberikan kesempatan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk beradaptasi dengan lingkungan lembaga pemasyarakatan. Proses admisi orientasi ini dilakukan sejak narapidana dan anak didik pemasyarakatan diterima di lembaga pemasyarakatan sampai dengan tahap pembinaan tahap lanjutan.
Dalam proses admisi orientasi ini terdiri dari beberapa aktifitas sebagai berikut:
1)       Peregistrasian, meliputi beberapa aktifitas:
Ø    Melakukan pencatatan data/identitas WBP (termasuk pengambilan sidik jari, foto), serta melakukan pemeriksaan badan dan barang bawaan;
Ø    Meneliti keabsahan surat-surat (Dokumen) dan mencocokan dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan;
Ø   Melakukan perhitungan tanggal bebas, pengurangan masa pidana (remisi), dan pentahapan masa pidana;
Ø       Melakukan pencatatan dan penyimpanan barang bawaan/titipan;
Ø       Menyiapkan administrasi pemindahan, pembebasan, dan pengeluaran;
Ø       Membuat data base dan laporan;
Ø       Melaksanakan kegiatan pengadministrasian (buku-buku register);
Ø   Melakukan pengadministrasi terkait dengan pengajuan usulan perubahan pidana (grasi, perubahan pidana sementara, peninjauan kembali);
2)       Penilaian, Pengklasifikasian dan Penyusunan program pembinaan, meliputi beberapa aktifitas;
Ø       Melakukan pendataan berdasarkan jenis dan lama pidana, jenis kelamin, usia, dan kriteria lainnya berdasarkan kebutuhan;
Ø       Melakukan penilaian (assessment) dan Klasifikasi;
Ø       Menyusun rencana program pembinaan (case plan);
Ø       Membuat rekomendasi hasil perencanaan program pembinaan kepada bidang lain;
Ø       Melakukan pengamatan secara berkesinambungan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama berada di dalam Lapas;
Ø       Menyusun tugas perwalian;
3)       Layanan Informasi dan Kerja Sama, meliputi:
Ø       Memfasilitasi sarana komunikasi antara narapidana dan anak didik pemasyarakatan dengan keluarga maupun dengan pihak lain (seperti surat menyurat);
Ø       Melakukan sosialisasi dan menyampaikan informasi tentang peraturan tata tertib, hak, dan kewajiban;
Ø       Membuat jadwal kunjungan dan petugas piket kunjungan;
Ø       Menyiapkan system data base kunjungan bagi narapidana;
Ø       Menyelenggarakan kegiatan kunjungan (termasuk kunjungan pada pada Hari Besar dan Hari Raya Keagamaan);
Ø       Memfasilitasi kunjungan bagi penasehat hukum, dokter pribadi, kunjungan sosial, kelompok masyarakat, organisasi keagamaan, dan lainnya;
Ø       Memfasilitasi layanan pertemuan bagi wartawan media cetak maupun elektronik;

b)      Proses Pemeriksaan Kesehatan dan Perawatan
1)       Pelayanan Kesehatan, meliputi aktifitas sebagai berikut:
Ø       Melakukan pemeriksaan kesehatan dan skrening;
Ø       Memberikan pelayanan perawatan kesehatan;
Ø       Membuat surat rujukan untuk perawatan luar Lapas;
Ø       Melakukan koordinasi dengan pihak lain terkait dengan pelayanan kesehatan;
Ø       Mengelola sarana dan prasarana kesehatan (poliklinik);
Ø       Memberikan pelayanan kesehatan bagi narapidana khusus (wanita, anak, lansia, sakit permanen, sakit menular, dll);
Ø       Menyelesaikan administrasi dan pengurusan jenazah bagi narapidana yang meninggal dunia;
Ø       Melakukan perawatan sanitasi dan kesehatan lingkungan;
Ø       Menyelenggarakan administrasi kesehatan dan pelaporan;
2)       Perawatan Makan dan Minum
Ø       Melaksanakan pengelolaan bahan makanan;
Ø       Melaksanakan pelayanan makan dan minum bagi WBP berdasarkan standar gizi yang ditetapkan;
Ø       Menyelenggarakan kegiatan administrasi pengelolaan bahan makanan;
Ø       Melaksanakan perawatan perlengkapan dapur dan menjaga kebersihan dapur;
Ø       Menyiapkan kebutuhan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (alat makan, alat minum, pakaian, perlengkapan tidur, perlengkapan cuci, mandi alat-alat olahraga);

c)       Proses Pembinaan
Proses pembinaan ini merupakan kelanjutan dari proses admisi orientasi dan dilaksanakan sejak berakhirnya masa admisi orientasi hingga narapidana dan anak didik pemasyarakatan bebas. Proses pembinaan ini meliputi:
1)       Pembinaan Kepribadian
Ø       Melaksanakan pendidikan formal dan informal;
Ø       Melaksanakan pembinaan mental dan spiritual (keagamaan);
Ø       Melaksanakan kegiatan olah raga, kesenian dan rekreasi WBP;
Ø       Menjalin kerjasama dengan pihak lain berkaitan dengan  kegiatan pengembangan kepribadian;
Ø       Melaksanakan kegiatan kepramukaan;
Ø       Melaksanakan kegiatan bimbingan konseling;
Ø       Melaksanakan kegiatan pengembangan minat dan bakat;
Ø       Menyiapkan dan mengelola sarana prasarana;
2)       Pembinaan Kemandirian
Ø       Menyiapkan program latihan kerja;
Ø       Menyiapkan dan mengelola sarana prasarana kegiatan kerja;
Ø       Melaksanakan bimbingan latihan keterampilan;
Ø       Menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dibidang latihan kerja dan produksi;
Ø       Mengelola lahan milik Lapas untuk kegiatan latihan keterampilan dan produksi (pertanian, peternakan, warung makan, cuci mobil);
Ø       Menyiapkan WBP pada kegiatan kerumah tanggaan dan produksi;
Ø       Mengelola bengkel kerja milik Lapas;
Ø       Melakukan pemasaran hasil kerja;
Ø       Mengelola administrasi dan laporan kegiatan kerja.
3)       Integrasi Sosial
Ø       Menyelenggarakan program integrasi sosial bagi WBP (assimilasi, CMK, CMB, CB, dan PB);
Ø       Menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka integrasi sosial;
Ø       Menyiapkan administrasi bagi WBP yang akan ijin luar biasa  keluar Lapas;
Ø       Mengusulkan WBP yang akan ditempatkan di Lapas Terbuka;
Ø       Menyelenggarakan sidang TPP.

d)      Keamanan dan Ketertiban, meliputi:
1)       Administrasi kamtib;
Ø       Melaksanakan pengadministrasian sarana dan prasarana pengamanan (senjata, metal detector, control clock,dll);
Ø       Pembuatan jadwal piket dan penjagaan;
Ø       Penyiapan dan memeriksa buku-buku penjagaan;
Ø       Melaksanakan pemeliharaan sarana dan prasarana pengamanan;
Ø       Melaksanakan administrasi dan penempatan WBP dalam kamar hunian berdasarkan hasil klasifikasi;
Ø       Membuat Laporan kegiatan pengamanan;
Ø       Membuat laporan pelanggaran WBP;
2)       Pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban.
Ø       Melakukan kegiatan inteligen;
Ø       Membantu kegiatan pengamanan program pembinaan bagi WBP;
Ø       Melakukan pengawalan terhadap kegiatan WBP di luar Lapas;
Ø       Melakukan kegiatan penertiban (penggeledahan, kerapian WBP, kerapian kamar, dll) secara berkala dan insidentil;
Ø       Melakukan pemeriksaan terhadap WBP yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib;
Ø       Melakukan penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh WBP;
3)       Penjagaan.
Ø       Melakukan pengamanan dan ketertiban baik dari dalam maupun dari luar Lapas;
Ø       Melaksanakan penggeledahan WBP dan barang;
Ø       Melakukan pengamanan terhadap bangunan dan barang-barang di Lapas;
Ø       Membuat laporan penjagaan setiap bertugas;
4)       Petugas Pengamanan Pintu Utama
Ø       Melakukan pemeriksaan setiap orang dan barang yang keluar/masuk Lapas;
Ø       Menerima dan mengeluarkan WBP berdasarkan surat yang sah
Ø       Menerima Tamu / pengunjung dengan ramah dan sopan;
Ø       Mengamankan barang-barang yang dilarang dibawa masuk kedalam Lapas.

Rumah Tahanan Negara
Rumah Tahanan Negara mempunyai tugas utama melakukan pelayanan terhadap tahanan. Pelaksanaan tugas pelayanan ini dilaksanakan sejak tahanan ditempatkan di dalam Rumah Tahanan Negara hingga mereka dibebaskan atau alih status menjadi terpidana atau narapidana.
Untuk melaksanakan pelayanan tersebut, proses bisnis yang dilakukan di dalam Rumah Tahanan Negara adalah sebagai berikut:
a)      Proses Admisi Orientasi
Proses admisi orientasi ini diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan pendataan secara komprehensif dan memberikan kesempatan kepada tahanan untuk beradaptasi dengan lingkungan Rumah Tahanan Negara.
Dalam proses admisi orientasi ini terdiri dari beberapa aktifitas sebagai berikut:
1)       Peregistrasian, meliputi beberapa aktifitas:
Ø    Melakukan pencatatan data/identitas tahanan (termasuk pengambilan sidik jari, foto), serta melakukan pemeriksaan badan dan barang bawaan;
Ø Meneliti keabsahan surat-surat (Dokumen) dan mencocokan dengan tahanan yang bersangkutan;
Ø     Melakukan perhitungan tanggal habis masa penahanan atau perpanjangan penahanan;
Ø      Melakukan pencatatan dan penyimpanan barang bawaan/titipan;
Ø      Membuat data base dan laporan;
Ø      Melaksanakan kegiatan pengadministrasian (buku-buku register).
2)       Penilaian, Pengklasifikasian dan Penyusunan program pelayanan, meliputi beberapa aktifitas;
Ø   Melakukan pendataan berdasarkan jenis dan lama penahanan, jenis kelamin, usia, dan kriteria lainnya berdasarkan kebutuhan;
Ø       Melakukan penilaian (assessment) dan klasifikasi;
Ø       Menyusun rencana program pelayanan;
b)      Proses Pelayanan
Proses pelayanan tahanan ini merupakan kelanjutan dari proses admisi orientasi. Proses pelayanan ini meliputi:
1)       Pelayanan Kesehatan dan Makanan, meliputi aktifitas sebagai berikut:
Ø     Melakukan pemeriksaan kesehatan dan skrening;
Ø     Memberikan pelayanan perawatan kesehatan;
Ø     Membuat surat rujukan untuk perawatan luar Rutan;
Ø     Melakukan koordinasi dengan pihak lain terkait dengan pelayanan kesehatan;
Ø     Mengelola sarana dan prasarana kesehatan (poliklinik);
Ø  Memberikan pelayanan kesehatan bagi narapidana khusus (wanita, anak, lansia, sakit permanen, sakit menular, dll);
Ø   Menyelesaikan administrasi dan pengurusan jenazah bagi narapidana yang meninggal dunia;
Ø    Melakukan perawatan sanitasi dan kesehatan lingkungan;
Ø    Menyelenggarakan administrasi kesehatan dan pelaporan;
Ø     Melaksanakan pengelolaan bahan makanan;
Ø   Melaksanakan pelayanan makan dan minum bagi tahanan berdasarkan standar gizi yang ditetapkan;
Ø      Menyelenggarakan kegiatan administrasi pengelolaan bahan makanan;
Ø      Melaksanakan perawatan perlengkapan dapur dan menjaga kebersihan dapur;
Ø  Menyiapkan kebutuhan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (alat makan, alat minum, pakaian, perlengkapan tidur, perlengkapan cuci, mandi alat-alat olahraga);
2)       Pelayanan Hukum, meliputi aktifitas:
Ø       Memfasilitasi pelaksanaan konsultasi hukum bagi tahanan dengan penasehat hukumnya;
Ø       Melakukan atau memfasilitasi sosialisasi hukum;
Ø       Memfasilitasi pelaksanaan pendidikan formal dan informal;
Ø       Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan keagamaan, olah raga, kesenian dan rekreasi;
Ø       Melaksanakan kegiatan bimbingan konseling;
3)       Pelayanan Informasi dan Kunjungan
a)   Memfasilitasi sarana komunikasi antara tahanan dengan keluarga maupun dengan pihak lain (seperti surat menyurat);
b)      Membuat jadwal kunjungan dan petugas piket kunjungan;
c)     Menyiapkan system data base kunjungan bagi tahanan;
d)   Menyelenggarakan kegiatan kunjungan (termasuk kunjungan pada pada Hari Besar dan Hari Raya Keagamaan);
e)         Memfasilitasi kunjungan bagi dokter pribadi, kunjungan sosial, kelompok masyarakat, organisasi keagamaan, dan lainnya;
f)         Memfasilitasi layanan pertemuan bagi wartawan media cetak maupun elektronik;
c)        Keamanan dan Ketertiban, meliputi:
1)       Administrasi kamtib;
Ø       Melaksanakan pengadministrasian sarana dan prasarana pengamanan (senjata, metal detector, control clock,dll);
Ø       Pembuatan jadwal piket dan penjagaan;
Ø       Penyiapan dan memeriksa buku-buku penjagaan;
Ø       Melaksanakan pemeliharaan sarana dan prasarana pengamanan;
Ø       Melaksanakan administrasi dan penempatan tahaan dalam kamar hunian berdasarkan hasil klasifikasi;
Ø       Membuat Laporan kegiatan pengamanan;
Ø       Membuat laporan pelanggaran tahanan;
2)       Pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban.
Ø       Membantu kegiatan pengamanan program pelayanan tahanan;
Ø       Melakukan kegiatan penertiban (penggeledahan, kerapian tahanan, kerapian kamar, dll) secara berkala dan insidentil;
Ø       Melakukan pemeriksaan terhadap tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib;
Ø       Melakukan penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh tahanan;
3)       Penjagaan.
Ø       Melakukan pengamanan dan ketertiban baik dari dalam maupun dari luar Rutan;
Ø       Melaksanakan penggeledahan tahanan dan barang;
Ø       Melakukan pengamanan terhadap bangunan dan barang-barang di Rutan;
Ø       Membuat laporan penjagaan setiap bertugas;
4)       Petugas Pengamanan Pintu Utama
Ø       Melakukan pemeriksaan setiap orang dan barang yang keluar/masuk Rutan;
Ø       Menerima dan mengeluarkan tahanan berdasarkan surat yang sah
Ø       Mengamankan barang-barang yang dilarang dibawa masuk kedalam Rutan.

Balai Pemasyarakatan
Balai pemasyarakatan ini berfokus pada upaya untuk memberikan pembimbingan klien pemasyarakatan. Bisnis proses yang dilakukan di dalam Bapas adalah sebagai berikut:
a)      Registrasi dan Klasifikasi, meliputi:
1.      Registrasi;
·      Menerima dan meregistrasi permintaan Litmas untuk ABH, dan Pembinaan maupun untuk kepentingan lainnya.
·      Menerima dan meregistrasi klien hasil Diversi dan putusan pengadilan berupa Pidana Bersyarat, Pidana Pengawasan, Anak Negara, Anak Kembali ke Orang Tua,dan Anak yang diserahka ke panti rehabilitasi / Lembaga sosial lainnya.
·      Menerima dan meregistrasi klien yang memperoleh Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat,Cuti Menjelang Bebas, Cuti Mengunjungi Keluarga, Assimilasi dan klien lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan diserahkan kepada Bapas.
·      Melakukan sidik jari / daktiloskopi terhadap klien pemasyarakatan.
·      Membuat Data Base dan Statistik.
·      Melayani informasi dan komunikasi publik.
·      Membuat laporan secara rutin maupun berkala.
·      Melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tugas-tugas staf.
 -      Melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan terhadap staf.
2.      Klasifikasi;
·         Melakukan penilaian / Assesmen  terhadap klien untuk menentukan resiko dan kebutuhan intervensi /pembimbingan.
·         Melakukan klasifikasi terhadap klien untuk menentukan tahapan pembimbingan dan bentuk pengawasan klien
·         Menyusun rencana intervensi /pembimbingan klien.
·         Membuat dan menentukan bentuk intervensi.
·         Merekomendasikan bentuk intervensi kepada seksi terkait.
·         Melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tugas-tugas staf
·         Melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan terhadap staf.
b)      Pendampingan dan Pembimbingan, meliputi:
1.      Pendampingan dan Pembimbingan Klien Anak;
·         Mendistribusikan permintaan Litmas untuk ABH dari penyidik dan pembinaan klien anak dari Rutan/ Lapas kepada Pembimbing Kemasyarakatan (PK).
·         Memeriksa hasil penelitian kemasyarakatan untuk ABH dan Pembinaan dari Rutan / Lapas.
·         Membuat surat tugas bagi PK untuk melaksanakan kegiatan Litmas,  Pendampingan dan Pembimbingan.
·         Bertanggung jawab dan melakukan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal pelaksanaan pendampingan dan bimbingan tahap pra ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi/ Sidang di pengadilan negeri dan Sidang TPP.
·         Bertanggung jawab dan melakukan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal pelaksanaan Diversi dan Restoratif Justice.
·         Melakukan pendampingan bagi ABH yang akan diserahkan kepada Kementrian Sosial maupun ke panti rehabilitasi.
·         Menyusun materi bimbingan dan penyuluhan terhadap klien anak.
·         Mengkoordinasikan pelaksanakan pembuatan penelitian kemasyarakatan dengan Pembimbing Kemasyarakatan untuk program pembimbingan klien anak.
·         Melaksanakan panggilan klien dalam rangka pembimbingan secara perorangan maupun kelompok.
·         Melaksanakan pembimbingan  klien Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Mengunjungi Keluarga maupun klien yang berdasarkan putusan pengadilan menjadi kewenangan dalam hal pembimbingannya yaitu klien Pidana Bersyarat, Pidana Pengawasan, Anak Negara, Anak Kembali ke Orang Tua,dan Anak yang diserahka ke panti rehabilitasi / Lembaga sosial lainnya.
·         Melakukan pembimbingan bekas Narapidana dan klien anak yang memerlukan bimbingan kerja (After care).
·         Melaksanakan bimbingan mental, jasmani dan kemandirian.
·         Mengusahakan / memfasilitasi kebutuhan anak dalam hal pemenuhan hak-haknya.
2.      Pendampingan dan Pembimbingan Klien Dewasa :
·         Mendistribusikan permintaan Litmas untuk  pembinaan klien dewasa dari Rutan/Lapas kepada Pembimbing Kemasyarakatan (PK).
·         Memeriksa hasil penelitian kemasyarakatan untuk klien Pembinaan dari Rutan / Lapas.
·         Membuat surat tugas bagi PK untuk melaksanakan kegiatan Litmas, Pendampingan, pembimbingan (home visit).
·       Bertanggung jawab dan melakukan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal pelaksanaan pendampingan tahap pra ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi/ Sidang di pengadilan jika dibutuhkan dan sidang TPP.
·         Melakukan pendampingan bagi pembinaan klien dewasa dari Lapas / Rutan yang akan diserahkan ke panti rehabilitasi.
·         Menyusun materi bimbingan dan penyuluhan terhadap klien dewasa.
·         Melaksanakan pembuatan penelitian kemasyarakatan untuk bahan pembimbingan klien Dewasa.
·         Melakukan panggilan klien dalam rangka pembimbingan secara perorangan maupun kelompok.
·         Melaksanakan pembimbingan klien Pembebasan bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Mengunjungi Keluarga maupun klien yang berdasarkan putusan pengadilan menjadi kewenangan dalam hal pembimbingannya
·         Melakukan pembimbingan kepada bekas Narapidana dan klien dewasa yang memerlukan bimbingan kerja (After care).
·         Melaksanakan bimbingan mental, jasmani dan kemandirian terhadap klien dewasa.
·         Memfasilitasi dan mengusahakan bantuan dalam hal penyaluran kerja.
c)      Pengawasan, meliputi:
1.      Pengawasan Klien Anak
·      Menyusun rencana dan program kerja Seksi Pengawasan.
·      Melakukan tugas dan bertanggung jawab dalam kegiatan Pengamatan dan evaluasi program.
·      Melakukan tugas dan bertanggung jawab dalam kegiatan penindakan klien pemasyarakatan
·      Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan terhadap anak diluar Lapas / Rutan.
·      Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan dengan instansi terkait.
·      Memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan terhadap pejabat struktural dibawahnya.
·      Melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tugas-tugas pejabat struktural dibawahnya
2.      Pengawasan Klien Dewasa
·      Menyusun laporan Seksi Pengawasan
·      Menyusun rencana dan program kerja Seksi Pengawasan.
·      Melakukan tugas dan bertanggung jawab dalam kegiatan Pengamatan dan evaluasi program.
·      Melakukan tugas dan bertanggung jawab dalam kegiatan penindakan klien pemasyarakatan
·      Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan terhadap klien dewasa diluar Lapas / Rutan.
·      Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan dengan instansi terkait.
·      Memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan terhadap pejabat struktural dibawahnya.
·      Melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tugas-tugas pejabat struktural dibawahnya

Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, sebagai UPT Pemasyarakatan yang mempunyai core business pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara, proses yang dijalankan adalah:
a)      Registrasi
1.  Penerimaan dan Penelitian
·         Menerima basan/baran dari petugas yang mengantarkannya.
·         Memeriksa keabsahan surat-surat dari instansi yang terkait (diantaranya : Surat Perintah Penyitaan, Surat Izin Penyitaan/Penetapan, Surat Acara Penyitaan, Surat Pengantar dari Instansi yang berwenang menandatangani) serta mencocokkannya kembali dengan basan/baran yang akan dititipkan.
·         Tehadap basan/baran yang tidak bergerak, basan yang tidak disimpan di Rupbasan, (petugas penerima, petugas peneliti dan petugas yang menyerahkan) bersama-sama memeriksa surat-surat, melakukan pemotretan di tempat dimana basan/baran berada.
·         Membuat Berita Acara Serah Terima penitipan basan/baran.
·         Melakukan penelitian, penilaian, pemeriksaan dan penaksiran tentang keadaan, jenis, mutu macam dan jumlah basan/baran. Apabila Rupbasan tidak memliki petugas peneliti ahli maka rangkaian kegiatan penelitian (penelitian, pemeriksaan dan penaksiran) dilakukan oleh tenaga ahli dari instansi lain atas permintaan Kepala Rupbasan.
·  Melakukan pemotretan terhadap basan/baran tertentu agar dapat dijadikan sebagai kelengkapan alat bukti.
·         Mengisi label yang ada pada barang bukti kemudian menyegelnya.
·         Membuat Berita Acara Penelitian dengan dilampiri spesifikasi hasil identifikasi basan/baran.
·         Setelah basan/baran di diteliti dan disegel beserta berkas-berkasnya diserahkan ke petugas pendaftaran dan data base.
·         Membuat laporan tentang keadaan basan/baran pada saat penerimaan.
2.      Pendaftaran dan Database
·   Mencocokkan kembali keabsahan surat dengan jenis dan keadaan basan/baran yang dititipkan.
·         Mencatat dan mendaftarkan basan/baran dalam buku-buku registrasi sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
·    Membuat laporan mengenai jumlah dan jenis basan/baran yang dititipkan berdasarkan tingkat pemeriksaan.
·         Melakukan input data basan/baran kedalam computer (database).
·         Menyerahkan basan/baran kepada petugas pemeliharaan.
b)      Pemeliharaan dan Mutasi
1.      Pemeliharaan
·         Petugas menerima basan/baran yang sudah diberi label beserta lampirannya (Berita Acara Penelitian dan Berita Acara Serah Terima).
·         Menyimpan basan/baran berdasarkan tingkat pemeriksaan, tempat penyimpanan dan jenisnya.
·         Mempertahankan mutu, jumlah, dan kondisi basan/baran agar keutuhan dan keaslian basan/baran guna tetap terjamin
·         Memeliharan basan/baran berdasarkan klasifikasi macam dan jenis barang sesuai dengan standarisasi, karakteristik dan spesifikasi basan/baran.
·         Melakukan stock opname terhadap seluruh basan/baran secara periodik.
·         Mencatat setiap terjadi perubahan keadaan basan/baran dan melaporkannya kepada Kepala Rupbasan.
·         Membuat laporan secara periodik tentang keadaan basan/baran.
2.      Mutasi
·     Menerima surat permintaan mutasi (perpindahan/pengeluaran) basan/baran dari pejabat yang bertanggungjawab menurut tingkat pemeriksaan.
·     Meneliti kembali keabsahan surat-surat permintaan mutasi basan/baran dari pejabat yang berwenang (surat permintaan atau surat perintah pengambilan dari instansi yang menyita, surat permintaan penuntut umum, atau surat penetapan/putusan hakiama yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
·         Mengeluarkan basan/baran yang akan dimutasi.
·    Membuat berita acara pemutasian basan/baran (mutasi basan/baran untuk dikembalikan pada yang berhak, mutasi basan/baran untuk keperluan proses peradilan, atau lainnya berdasarkan surat permintaan instansi yang berwenang.).
·         Melakukan kordinasi dengan petugar pendaftaran untuk mencoret daftar basan/baran yang dimutasi dari buku-buku registrasi. Terhadap basan/baran yang dipinjam oleh pihak peradilan dan diserahkan kembali ke Rupbasan, wajib dilakukan penelitian ulang, penilaian, pemeriksaan dan penyimpanan.
·   Membuat laporan secara periodik tentang jumlah basan/baran yang keluar/masuk di Rupbasan.
c)      Pengawasan
·         Mencatat daftar nama anggota regu pengamanan.
·         Membuat jadwal regu jaga dan membuat absen regu jaga.
·         Menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang tugas-tugas pengamanan dan penyelamatan.
·         Menyediakan alat-alat keamanan dan penyelamatan regu pengamanan.
·      Menginventarisir petugas pengamanan yang membutuhkan keterampilan, pendidikan dan pelatihan keamanan dan penyelamatan bagi petugas pengamanan.
·    Mengawasi anggota pengamanan dan penyelamatan agar menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Membuat laporan kepada Kepala Rupbasan tentang keadaan dan kedisiplinan anggota regu pengamanan dan penyelamatan.
Tugas Penjagaan:
·         Memelihara keselamatan dan keamanan Rupbasan (basan/baran, pegawai, bangunan dan perlengkapan, aspek-aspek ketatalaksanaandan lingkungan sosial atau masyaraklat luar)
·         Melaksanakan tugas penyelamatan dan apabila terjadi keadaan darurat.
·         Menjaga agar tidak tejadi pengrusakan, pencurian, kebakaran, kebanjiran atau karena gangguan bencana alam lainnya.
·         Memelihara, mengawasi dan menjaga basan/baran dan barang-barang inventaris kantor.
·         Menunjang keberhasilan proses pengelolaan basan/baran.
·         Melaksanakan pengelolaan meliputi proses penerimaan sampai pengeluaran basan/baran.
·         Penginderaan dini terhadap berbagai masalah yang terjadi di dalam maupun di luar Rupbasan.
·       Melakukan koordinasi dengan Kepal Rupbasan. Dalam menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, pengamanan dan penyelamatan dapat diselenggarakan terpadu secara fungsional dengan instansi-instansi lain.
·         Memeriksa dan mencatat identitas tamu, basan/baran yang datang di Rupbasan.
·        Melakukan kontrol secara periodik dan mencatat keadaan dan kejadian setiap hari secara periodik di dalam buku laporan.

3.      Klasifikasi dan Tipologi UPT Pemasyarakatan
a.    Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (eksisting) diklasifikasikan dalam beberapa kelas, yaitu Lapas Kelas I (eselon IIb), Lapas Kelas IIA (eselon IIIA), dan Lapas Kelas IIB (eselon IIIB).
Jika merujuk pada proses bisnis yang telah dikemukakan di atas, maka kemungkinan besar akan terjadi perubahan pada struktur organisasi Lapas. Bahwa struktur organisasi Lapas (eksisting) belum mengkomodasi proses bisnis yang diharapkan dapat diterapkan. Oleh karena, akan dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap struktur organisasi Lapas dengan memperhatikan kebutuhan terselenggaranya tugas pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan berdasarkan proses bisnisnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam pembentukan struktur organisasi Lapas dengan mengacu pada proses bisnis yang ideal akan dilakukan pengklasifikasian? Misalnya saja, Lapas akan diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Lapas Kelas I (eselon IIIA) dan Lapas Kelas II (eselon IIIB).
Jika kita melakukan pengklasifikasian, berarti akan terjadi lagi penyesuaian-penyesuaian terhadap struktur Lapas yang telah disusun berdasarkan proses bisnis ideal tersebut. Dalam arti bahwa akan terjadi penggabungan fungsi-fungsi dalam beberapa struktur karena pengklasifikasian ini berdampak pada jumlah jabatan strukturalnya.
Berkaitan dengan tipologinya, maka terhadap Lapas akan dilakukan pembedaan, yaitu Lapas Umum, Lapas Terbuka, Lapas Anak, Lapas Wanita, Lapas Narkotika. Pembedaan terhadap tipologi Lapas ini dilakukan karena masing-masing Lapas ini mempunyai karakteristik yang khusus berkaitan dengan obyek, proses pembinaan, maupun metode pelaksanaan tugasnya.
Tipologi tersebut pada dasarnya tidak merubah bisnis proses yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pembinaan. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan bisnis proses dari masing-masing tipe Lapas tersebut.
Yang membedakan dari tipologi lapas tersebut hanya pada fokus dalam pelaksanaan pembinaan yang didasarkan pada kebutuhan narapidana atau anak didik pemasyarakatan.
Tipe Lapas Umum; merupakan Lapas yang melaksanakan fungsi pembinaan terhadap narapidana (dewasa) yang berlatar belakang kasus tindak pidana umum (selain narkotika). Fokus pembinaan pada Lapas umum adalah latihan ketrampilan dan kegiatan produksi.
Tipe Lapas Terbuka; merupakan Lapas yang diperuntukkan bagi narapidana yang telah menjalani proses pembinaan hingga ½ masa pidana. Fokus pembinaan pada Lapas terbuka adalah ........
Tipe Lapas Anak; merupakan Lapas yang diperuntukkan bagi anak didik pemasyarakatan. Fokus pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan adalah pelaksanaan pendidikan.
Tipe Lapas Wanita; merupakan Lapas yang diperuntukkan bagi narapidana wanita. Fokus pembinaan pada Lapas Wanita ini pada dasarnya tidak ada pembedaan dengan Lapas Umum, tetapi dengan tetap memperhatikan kebutuhan khusus wanita.
Tipe Lapas Narkotika; merupakan Lapas yang diperuntukkan bagi narapidana kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Fokus pembinaan di Lapas Narkotika adalah adanya upaya untuk melakukan terapi rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba (pengguna).

b.    Rumah Tahanan Negara
Rumah Tahanan Negara (Rutan) akan diklasifikasikan menjadi 2 kelas, yaitu kelas I dan kelas II. Sedangkan keberadaan cabang Rutan tetap dipertahankan untuk mendukung proses penegakan hukum terutama di daerah-daerah yang wilayahnya cukup luas.

c.     Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan (Bapas) akan dikembangkan, tidak hanya berkaitan dengan statusnya tetapi juga terhadap mekanisme kerjanya. Pada Lapas/Rutan akan dibentuk unit Bapas agar fungsi pembimbingan dapat dilaksanakan secara optimal.

d.    Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) pun akan dikembangkan, hal ini terkait dengan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap benda sitaan dan barang rampasan selama proses penegakan hukum.


[1] Gibson, Ivacevich dan Donnely, Organisasi dan Manajemen: Perilaku Struktur dan proses, ed. IV, Jakarta, Erlanggam, 1984: hal.148
[2] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih bahasa Jusuf Udaya, Jakarta, Penerbit Arcan, 1994
[3] Konferensi Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung tanggal 28 April s.d. 7 Mei 1964 menghasilkan beberapa kesimpulan, salah satunya adalah kesimpulan berkaitan dengan organisasi pemasyarakatan.
[4] Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, Makalah FH-UI, 1998, hlm.1
[5] Clemens Bartolas, Correctional Treatment; Theory and Practice, New Jersey, Prentice Hall, Inc. 1985:27-28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar