Minggu, 03 Juli 2011

LANDASAN FILOSOFIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PEMASYARAKATAN oleh Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP, M.Si.


 LANDASAN FILOSOFIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG  TENTANG SISTEM PEMASYARAKATAN
(Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP, M.Si.)

A.     Pendahuluan
Politik hukum nasional Indonesia, sejatinya  mengacu kepada visi Negara. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakatan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan perdamaian dunia demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam kaitan ini, maka hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) harus dapat mengarahkan segenap potensi yang dimiliki bangsa agar cita-cita luhur tersebut dapat tercapai.
Eksistensi hukum pidana yang implementasinya dilakukan melalui sistem peradilan pidana (SPP) seharusnya ditopang oleh 3 (tiga) undang-undang pokok. Pertama, KUHP sebagai hukum materiil, kedua; KUHAP sebagai hukum formil dan ketiga; undang-undang pelaksanaan Hukum Pidana (materiil dan formil)  yang menurut Hans Kelsen kedudukan hukum ini berada dalam lingkungan hukum administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan warga negara, ia mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Seperti diketahui bahwa secara konstitusional, warga negara atau rakyat memiliki hak-hak yang diatur secara tegas dalam pasal 28 UUD.  Dalam saat yang bersamaan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak konstitusional rakyatnya. Dengan demikian hakekat yang sebenarnya dari adanya suatu negara yang dilaksanakan oleh suatu pemerintahan adalah melaksanakan pelayanan yang seoptimal mungkin kepada rakyat melalui pelayanan sipil dan pelayanan publik.
Dalam ilmu pemerintahan (yang merupakan cabang dari ilmu administrasi negara) ada pembedaan antara pelayanan publik dan pelayanan sipil. Taliziduhu (2008) menjelaskan bahwa pelayanan publik merupakan pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, pelayanan publik merupakan kewenangan pemerintah sebagai pelaksana negara. Terhadap pelayanan publik ini, rakyat mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmatinya dengan didasarkan pada pilihan mereka masing-masing. Rakyat mempunyai kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan pelayanan publik atau tidak karena untuk mendapatkan pelayanan publik tersebut ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan oleh rakyat yang menggunakannya walaupun biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan tersebut relatif kecil.
Selain itu, pelayanan sipil, menurut Taliziduhu, adalah pelayanan yang merupakan kewajiban negara sebagai wujud untuk memberikan perlindungan hak asasi, hak sipil, dan hak konstitusional. Karena pelayanan sipil merupakan kewajiban, akses untuk mendapatkan pelayanan sipil tersebut harus bebas biaya (gratis). Adapun tujuan diselenggarakannya pelayanan sipil ini adalah untuk mengakui, melindungi, menyelamatkan, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM) dan lingkungannya.
Dilihat dari sisi ilmu pemerintahan tersebut, maka pelaksanaan sistem pemasyarakatan adalah merupakan pengewajantahan dari pelayanan sipil, yang mana setiap orang (pelanggar hukum) yang dikenakan pemidanaan/upaya paksa oleh pihak yang berwenang berdasarkan hukum harus dijamin hak-haknya agar pelaksanaan penegakan hukum tersebut tidak melangggar HAM.
Jadi, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, bagaimana menyusun kodifikasi aturan (hukum) pelaksanaan pidana (baik formil maupun materiil) berdasarkan Sistem Pemasyarakatan agar dapat diimplementasikan secara terintegrasi? (Ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis)
Kedua, bagaimana menyusun materi muatan Undang-Undang Sistem Pemasyarakatan agar eksistensi dari kesisteman tidak mengalami kegagalan?



B.  Kodifikasi Hukum Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan  ditinjau dari segi Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
Hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP), walaupun saat ini sedang dalam proses perubahan (amandemen), akan tetapi keduanya telah lama eksis. Sedangkan bidang hukum yang ketiga, yaitu undang-undang mengenai pelaksanaan pidana masih berserakan dan belum terkodifikasikan. Pelaksanaan penanganan orang yang dipidana (pelaksanaan hukum materiil) diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (sebelumnya diatur dalam Gestichten Reglement yang didasarkan pada pasal 29 KUHP). Sedangkan pelaksanaan penanganan orang yang dikenakan upaya paksa (hukum pidana formil) dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP bagi tahanan dewasa dan barang-barang sitaan/ rampasannya serta melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak (juga dalam proses amandemen) bagi anak yang berhadapan dengan hukum (pidana). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk diintegrasikan agar supaya penanganannya lebih holistic, integral dan komprehensif yang terbingkai dalam suatu sistem penegakan hukum (pidana) secara terpadu.
Wewenang upaya paksa dan wewenang untuk melakukan penghukuman yang dimiliki oleh Negara (melalui aparatur hukumnya), pada hakekatnya merupakan kekuasaan yang sah yang diberikan undang-undang untuk memperlakukan warganegaranya  (yang melanggar hukum) secara bertentangan dengan hak asasi manusia (berupa pencabutan kebebasannya dan pencabutan hak milik atas barangnya). Sebagaimana layaknya sebuah kekuasaan, yang cenderung disalahgunakan, maka kekuasaan untuk melakukan upaya paksa dan membatasi kebebasan bergerak warga Negara tersebut, juga rentan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena itu apabila penegakan hukum  tidak dilakukan melalui proses check and balances dalam suatu kesisteman, maka proses tersebut seringkali menimbulkan de-humanisasi berupa pelanggaran hak asasi terhadap pelanggar hukum. Hal tersebut, sudah barang tentu  telah bertentangan dengan peran Negara yang diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Politik hukum dalam prakteknya telah menyimpang dari konstitusi.
Sedemikian pentingnya control terhadap kekakuasaan Negara tersebut menjadikan perlindungan hak asasi para pelanggar hukum menjadi isu yang penting. Malahan hal tersebut saat ini telah menjadi perhatian dunia internasional melalui instrumen-instrumen hukumnya yang telah di adopsi dan di ratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam pendekatan paradigma yang paling mutakhir, semua manusia, dalam situasi apapun, memiliki hak asasi yang fundamental, yang tidak bisa direnggut tanpa pembenaran hukum. Orang yang ditahan secara sah atau dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk sementara melapaskan hak untuk bebas. Beberapa hak mungkin dibatasi oleh penahanan dan pemenjaraan namun masalah pentingnya adalah sejauh apa batasannya dan apakah batasan terhadap hak asasi manusia itu dianggap penting sebagai konsekwensi yang dibenarkan dalam perampasan kebebasan.
Banyak  orang dalam Lembaga Pemasyarakatan sedang menjalani hukumannya. Mereka ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai hukuman bukan untuk dihukum. Hukuman ini termasuk pula kehilangan kebebasan. Maka dari itu, keadaan-keadaan dalam Lembaga Pemasyarakatan tidaklah boleh digunakan sebagai hukuman tambahan. Dampak yang kurang baik dari pemenjaraan haruslah diminimalkan. Walaupun kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak pernah normal, namun kondisi dalam Lembaga Pemasyarakatan harus diupayakan sedekat mungkin dengan kehidupan normal, terlepas dari masalah kehilangan kebebasan. Sementara itu banyak juga orang dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bukan sedang menjalani hukuman akan tetapi sedang menjalani tindakan pencegahan melalui penahanan. Bagi mereka kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan pun harus dibuat sedekat mungkin dengan kehidupan normal.
Ketika perampasan kebebasan terjadi, maka akan ada resiko pelanggaran HAM. Hak dasarlah yang tidak bisa dirampas dari kebebasan kecuali melalui proses hukum. Dalam prakteknya, perampasan kebebasan seringkali terjadi diluar hukum; orang berada dalam tahanan tanpa mempedulikan prosedur dan perlindungan hukum yang layak. Oleh karena itu prinsip dalam menjaga hak asasi manusia yang sedang menjalani penahanan dan penghukuman adalah keterbukaan : Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dan tempat penahanan lain harus terbuka bagi dunia luar dan bagi para penyelidik independent dan orang-orang yang sedang menjalani hukuman dan penahanan haruslah memiliki akses ke dunia luar.
Jika Negara merampas kebebasan seseorang, maka berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Negara memiliki tugas kepedulian bagi orang tersebut. Tugas utama kepedulian adalah untuk menjaga keamanan orang yang dirampas kebebasannya tersebut. Tugas kepedulian juga mencakup tugas untuk menjaga kesejahteraannya.
Untuk itulah diperlukan suatu undang-undang yang menjamin terjadinya regulasi yang dapat mereduksi dampak-dampak negatip tersebut dalam suatu wadah yang terintegrasi dalam suatu kesisteman yaitu undang-undang tentang sistem pemasyarakatan. Undang-undang ini bertindak sebagai  sebuah undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan perlakuan bagi pelanggar hukum yang didijatuhi hukum pidana (materiil), maupun pelanggar hukum (termasuk barangnya) yang dikenakan upaya paksa dalam menegakan hukum acara pidana (formil).
 Dalam konteks yang demikian maka sistem pemasyarakatan bergerak di dalam semua tahapan penegakan hukum pidana yaitu tahapan pra ajudikasi (proses sebelum putusaan hakim), tahapan ajudikasi (proses pada saat putusan hakim) dan tahapan post ajudikasi (proses setelah putusan hakim).
 Walaupun saat ini, secara substansi materi hukum yang terintegrasi, pemasyarakatan belum terlibat dalam ketiga proses tersebut, akan tetapi secara faktual pemasyarakatan sudah dilaksanakan, yakni dengan berfungsinya Rumah Tahanan Negara (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (Rupbasan).
Ditinjau dari proses sistem peradilan pidana, kegiatan pemasyarakatan lebih ditujukan untuk mengurangi dampak-dampak dari penggunaan  hukum (diskresi) oleh instansi berwenang diluar batas kewajaran. Dalam tahapan pra ajudikasi, hal itu ditandai dengan diberikannya kewenangan melepaskan demi hukum kepada Kepala Rutan bagi tahanan yang sudah habis masa penahanannya (dalam HIR, kewenangan ini tidak dikenal). Demikian pula diberikannya tanggung jawab secara fisik atas pengurusan para tersangka/terdakwa yang berada dalam tahanan di Rutan dan perawatan barang sitaan Negara di Rupbasan kepada instansi Departemen Hukum dan HAM cq pemasyarakatan, menunjukan adanya itikad (kepedulian) dari Negara untuk melindungi hak-hak para pelanggar hukum.
Sementara itu, dalam proses ajudikasi, kewenangan petugas pemasyarakatan (cq. Bapas) telah nyata-nyata diberikan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana dalam pasal 59 ayat (2) dinyatakan bahwa :”hakim dalam memberikan putusannya kepada terdakwa yang masih katagori anak, wajib mempertimbangkan laporan penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan (Petugas Bapas)”. Dalam penjelasan dari pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud wajib dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan ”batal demi hukum”.
Sudah barang tentu, maksud dari pasal tersebut adalah dalam rangka menghindarkan kemungkinan Hakim melakukan kesalahan dalam menjatuhkan keputusannya. Hakim melalui laporan penelitian kemasyarakatan diberikan informasi mengenai latar belakang sosial dan latar belakang kasusnya, sehingga putusan yang dijatuhkannya akan lebih konprehensif dan bermanfaat bagi masa depan anak yang bersangkutan.
Dalam sistem peradilan di negara maju, fungsi laporan penelitian kemasyarakatan (case study) dari petugas probation (Petugas Bapas) telah digunakan pula bagi pelanggar hukum dewasa. Berhubung pentingnya fungsi laporan penelitian kemasyarakatan ini, maka diharapkan dimasa yang akan datang setiap Hakim di Indonesia dapat memanfaatkan laporan penelitian kemasyarakatan dari petugas Bapas ini, sebagai salah satu dasar pertimbangan putusannya bagi pelanggar hukum dewasa. Sehingga Hakim dalam menjatuhkan pidana, tidak saja melulu atas dasar pertimbangan hukum semata, akan tetapi juga mempertimbangkan latar belakang kehidupan si terdakwa. Dengan demikian, putusan Hakim bukan saja menghasilkan keadilan secara formal akan tetapi secara substansial benar-benar dapat dirasakan adil oleh semua fihak.
Selanjutnya dalam tahapan post-ajudikasi, pemasyarakatan (cq. Lembaga Pemasyarakatan) lebih banyak memegang peranan. Oleh sebab itulah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyatakan bahwa pemasyarakatan (cq. Lembaga Pemasyarakatan) merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (pasal 1).
Dalam ancangan Penologi, pemenjaraan adalah merupakan tindakan negara yang banyak menimbulkan kontroversi. Hal ini diakibatkan adanya dampak dari pemenjaraan yang biasanya kurang disadari oleh banyak kalangan. Tindakan pemenjaraan (institusionalisasi) seringkali cenderung menimbulkan bahaya prisonisasi dan stigmatisasi. Prisonisasi yakni terkontaminasinya mental penghuni oleh budaya penjara yang destruktif selama ia menjalani pidanannya di dalam Lapas. Stigmatisasi  yakni proses pemberian label atau cap kepada seseorang bahwa ia itu penjahat dan ia akan menghayati predikat itu sehingga mengakibatkan penyimpangan perilaku yang sekunder. Kedua hal tersebut pada gilirannya dapat menumbuh-suburkan residivisme, yang cenderung dapat menimbulkan pengulangan kejahatan.
Oleh karena itu,  salah satu prinsip pemasyarakatan yang dicetuskan oleh Dr (HC) Sahardjo, SH, menyatakan bahwa “negara tidak berhak membuat  seseorang lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum di penjara”.
Semua regulasi tersebut diatas, mencerminkan adanya itikad Negara (melalui regulasi hukum pidana dan hukum administrasi negara) sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28, agar penegakan hukum tidak destruktif terhadap kemanusiaan (khususnya hak asasi pelanggar hukum yang secara formal masih memiliki hak-hak konstitusionalnya).
 Berkaitan dengan itu, pemasyarakatan melakukan pendekatan melalui suatu paradigma hukum yang dapat menyembuhkan (restorative justice) yang diimplementasikan melalui sistem perlakuan pelanggar hukum  berdasarkan paradigma re-integrasi sosial. Paradigma ini memandang bahwa  pelanggar hukum sebagai individu yang dianggap sedang mengalami keretakan hubungan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, dalam hal hidup-kehidupan dan penghidupannya. Artinya yang bersangkutan sedang mengalami masalah dalam menghadapi hidup, kehidupan dan atau kehidupannya. Hidup diartikan sebagai hubungan antara individu dengan Chaliknya. Kehidupan diartikan sebagai hubungan antara individu dengan sesamanya. Sedangkan penghidupan diartikan sebagai hubungan antara individu dengan lingkungannya atau hubungan antara individu dengan bidang pekerjaannya dalam rangka  mengolah/memanfaatkan lingkungannya agar dapat mendukung kualitas hidup dan kehidupannya. Munculnya keretakan hubungan tersebut kadang-kadang diakibatkan bukan oleh keinginannya, akan tetapi seringkali diakibatkan karena ia tertinggal atau ditinggalkan oleh masyarakat lingkungannya. Dalam kondisi yang demikian, kesalahan tidak boleh diletakan seluruhnya kepada yang bersangkutan karena unsur-unsur diluar dirinya pun seringkali memiliki andil yang tidak kurang pentingnya dalam menunjang timbulnya tindakan pelanggaran hukum tersebut.
Oleh karena itulah, tugas dari pemasyarakatan adalah membantu pelanggar hukum agar hubungan hidup-kehidupan-penghidupannya itu kembali berjalan sebagaimana mestinya melalui program pendampingan, pemanduan, pembinaan, pembimbingan, pelayanan dan perawatan dengan melibatkan sumber-sumber yang dimiliki oleh masyarakat. Pemasyarakatan menganggap keikutsertaan masyarakat adalah mutlak diperlukan. Hal itu dilakukan bukan saja karena  ia wajib ikut dalam membina warganya tersebut, akan tetapi secara moral masyarakat pun harus bertanggungjawab atas terjadinya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warganya tersebut. Sehingga pada saatnya kelak ia dapat berfungsi secara optimal selaku individu, warga masyarakat, warga bangsa dan selaku warga Negara. Dalam tataran pelaksanaan pemasyarakatan, keikut-sertaan masyarakat dilakukan melalui partisipasi (participation), dukungan (support) dan pengawasan (control) masyarakat. Ketiga variable ini menjadi penting untuk dijadikan sumber kekuatan bagi terlaksananya sistem pemasyarakatan dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian ia harus diberikan akses yang memadai sehingga mempunyai daya dukung yang positif terhadap kinerja sistem pemasyarakatan.


C.    Materi Undang-Undang berdasarkan Kebutuhan Sistem
Terkait dengan istilah sistem maka konten dari sistem tersebut selalu harus berisi hal-hal yang terkait dengan kebutuhan sistem. Kalau tidak, maka sistem akan mengalami pembusukan (entrofi) serta lambat laun akan mengalami kegagalan. Menurut Talcot Parson, kebutuhan sistem meliputi : Pertama; sistem harus memiliki daya penyesuaian diri demi berlangsungnya sistem tersebut yakni adanya dukungan sarana dan prasarana (aspek ekonomi). Kedua; sistem harus memiliki kekuasaan/kewenangan dalam mencapai tujuannya (aspek politik). Ketiga; sistem harus memiliki regulasi untuk mengintegrasikan semua sumber daya yang dimiliki demi efektifitas dan efisiensi berlangsungnya sistem tersebut (aspek sosial). Keempat; sistem harus memiliki daya untuk memelihara pola-pola demi keutuhan sistem melalui sistem budaya (reward and punishment).
 Agar supaya sistem pemasyarakatan dalam operasionalnya tidak mengalami pembusukan yang diakibatkan oleh terbatasnya daya dukung sistem, maka di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pemasyarakatan, harus mengatur dan meregulasi   ke empat kebutuhan sistem tersebut  yang  meliputi :
·        Aspek ekonomi yaitu aspek yang terkait dengan kebutuhan sistem dalam menyelenggarakan dan mengoperasionalkan sistem tersebut  yang meliputi : sub sistem sumber daya manusia (kualifikasi kompetensi, kesejahteraan, dll) keuangan dan sarana serta prasarana lainnya (bangunan, perumahan, sarana keamanan dan lain-lain)
·        Aspek politik yaitu yang terkait dengan political will sejauh mana batas-batas kewenangan  yang dimiliki oleh sistem tersebut. Dalam kaitan ini maka kewenangan untuk mengelola manusia (beserta barangnya) yang berhadapan dengan hukum  (pidana) adalah merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dengan demikian maka core businness dari sistem pemasyarakatan adalah menangani semua aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan dari kebijakan sistem peradilan pidana, baik yang menyangkut orang maupun yang menyangkut barang agar pelaksanaan upaya paksa/pemidanaan dalam proses penegakan hukum tersebut tidak melanggar hak asasi manusia.
·        Aspek sosial yaitu proses yang mengatur hubungan internal diantara  sub sistem tersebut serta hubungan eksternal antara sub sistem tersebut dengan sub sistem lainnya. Meskipun pemasyarakatan dipandang sebagai sebuah sistem akan tetapa ia tidak dapat melepaskan diri dari sistem besarnya yaitu sistem peradilan pidana. Dalam kaitannya sebagai bagian dari sebuah sistem (sub sistem) maka pemasyarakatan harus tunduk kepada mekanisme control dari sub sistem lainnya. Dengan demikian ia tunduk untuk dikontrol oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam kaitannya dengan berbagai keputusan yuridis dalam rangka upaya paksa dalam rangka penegakan hukum. Demikian pula dalam melaksanakan tugas pembinaan terhadap pelanggar hukum, pemasyarakatan juga dikontrol oleh Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) untuk memantau sejauhmana efektifitas pelaksanaan keputusan Hakim yang berupa pemidanaan ataupun tindakan.
·        Aspek budaya, yaitu aspek (nilai-nilai) yang menjadi dasar untuk  mempertahankan pola-pola yang  dimiliki yakni dengan adanya proses internalisasi dan sosialisasi melalui mekanisme reward and punishment sehingga pola-pola tersebut dapat berjalan secara konsisten dan simultan.
 Adapun nilai-nilai tersebut antara lain terdapat pada prinsip-prinsip pokok konsepsi Pemasyarakatan, yaitu  
1)                 Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
Jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah masyarakat Indonesia yang menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Bekal hidup tidak hanya berupa financial dan material, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian, ketrampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan negara.

2)                 Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
Maka tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana baik yang merupakan tindakan, ucapan, cara peerawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaanya.

3)                 Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan.
Maka kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengani norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk mrasa hidup kemasayarakatannya.
4)                 Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.
Untuk itu harus diadakan pemisahan antara lain:
Ø      yang residivist dan yang bukan.
Ø      Yang tindak pidana berat dan yang ringan.
Ø      Macam tindak pidana yang dilakukan.
Ø      Dewasa, dewasa muda, pemuda dan anak-anak.
Ø      Laki-laki dan wanita.
Ø      Orang terpidana dan orang tahanan/titipan.
Pada waktu sekarang pada prinsipnya pemisahan-pemisahan itu memang dilakukan, walaupun dalam satu bangunan, berhubung masih kekurangan gedung-gedung untuk pengkhususan itu. Akan tetapi hal ini perlu mendapat perhatian karena pelaksanaannya sukar untuk diadakan pemisahan dengan sempurna.

5)                 Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.
Masalah ini memang dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dianggap sebagai masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan, yang menurut paham lama ialah identik dengan engasingan dari masayarakat, sekarang menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masayarakat.
Adapun yang dimaksud sebenarnya di sini bukan “geographical” atau “physical” tidak diasingkan, akan tetapi “cultural” tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat dan kehidupan masyarakat.
Bahwa mereka kemudian secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga (di tengah-tengah masyarakat), itu merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Dan memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang “community centered” serta berdasarkan interaktivitas dan interdisipliner approach antara unsur pegawai, masyarakat, dan narapidana.

6)                 Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja.
Pekerjaan harus satu dnegan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional. Maka harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional. Potensi-potensi kerja yang ada di lembaga harus dianggap sebagai yang integrasi dengan potensi pembangunan nasional.

7)                 Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.
Maka pendidikan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum di dalamnya. Kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama serta diberi kesempatan dan bimbingan yuntuk melaksanakan ibadahnya.
Kepada  narapidana harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan juga kekeluargaan antar bangsa-bangsa.
Kepada narapidana harus ditanamkan rasa persatuan, kebangsaan Indonesia, harus ditanamkan jiwa bermusyawarah untuk bermufakat yang positif. Narapidana harus diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan untuk kepentingan bersama dan kepentingan umum.

8)                 Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.
Tidak boleh selalu ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia.
Maka petugas Pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaanya, khususnya yang ebrsangkutan dengan perbuatannyua yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk lembaga.
Segala bentuk “label” yang negative (cap sebagai orang teridana) hendaknya sedapat mungkin dihapuskan, anatara lain misalnya:
Ø      Bentuk dan warna pakaian.
Ø      Bentuk dan warna gedung/bangunan.
Ø      Cara pemberian perawatan, makan, tempat tidur.
Ø      Cara pengantaran/pemindahan narapidana.
Ø      Dan lain sabagainya.

9)                 Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
Maka perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungannua, dengan disediakn pekerjaan ataupun dimungkinakn bekerja dan diberi upah untuk pekerjaanya.
Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang dierlukan, ataupun yang diberi kesempatan kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan di luar.

10)             Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan sistem Pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan yang sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya di tengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal.
Maka perlu kiranya mendirikan lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan, serta memindahkan lembaga-lembaga yang letaknya di tengah-tengah kota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses Pemasyarakatan.
Hal ini tidak berarti bahwa lokasi lembaga semuanya harus jauh dari kota. Sesuai dengan proses pembinaannya, akan diperlukan pula lembaga yang letaknya dekat dari kota, ataupun justru di dalam kota, tetapi bentuknya atau tata bangunannya tidak mencolok sebagai bangunan penjara yang tradisional, sehingga tidak akan merupakan label bagi penghuninya sebagai orang-orang jahat.
Sebagaimana telah diuraikan di muka seharusnya ada bangunan-bangunan atau gedung-gedung khusus, hingga dapat diadakan pemisahan antara:
Ø      Narapidana dewasa yang residivist dan yang bukan.
Ø      Yang tindak pidana berat dan yang ringan.
Ø      Macam tindak pidana yang dilakukan.
Ø      Dewasa, dewasa muda, pemuda dan anak-anak.
Ø      Laki-laki dan wanita.
Ø      Orang terpidana dan orang tahanan.
Disamping itu, diperlukan pula gedung atau bangunan untuk pengkhususan menurut fase pembinaannya antara lain, misalnya:
a)        Gedung sentral untuk menampung narapidana yang baru masuk selama waktu singkat (cara orientasi), sebelum dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan yang lain sesuai dengan penentuan kebutuhan pembinaannya.
b) Gedung bangunan sentral untuk mereka yang menjelang lepas, hingga dapat dilaksanakan program khusus sebagai pembinaan menjelang lepas itu. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah dapat menyesuiakan diri dengan kehidupan di masyarakat bebas.
c)      Gedung/bangunan bagi mereka yang sudah lepas, tetapi belum dapat pulang sehingga sementara masih membutuhkan bantuan.
d)      Gedung/bangunan sebagai lembaga terbuka.

Sesungguhnya penggolongan Lembaga Pemasyarakatan dengan pendekatan maximum security, minimum security, medium security, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sistem Pemasyarakatan.

 Seluruh aspek dari kesisteman tersebut harus secara eksplisit tercantum dalam pasal demi pasal pada Undang-Undang Sistem Pemasyarakatan. Sehingga sistem dapat berjalan secara optimal dalam mencapai tujuannya. Karena apabila tidak maka perlahan akan tetapi pasti, sistem tersebut akan mengalami kegagalan.


D.    Penutup
Membangun system peradilan pidana yang terintegrasi semestinya dilakukan dengan mendudukkan secara setara setiap sub system yang terlibat didalamnya (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan). Kesetaraan ini menjadi satu aspek yang strategis agar tujuan hukum, yaitu menciptakan tertib kehidupan masyarakat  berdasarkan kebenaran, keadilan dan perlindungan HAM dapat tercapai. Dan untuk membangun kesetaraan ini tentunya diperlukan perubahan-perubahan yang mendasar, salah satunya melalui pembentukan aturan hukum (undang-undang).
Pembentukan RUU Sistem Pemasyarakatan yang sedang dilakukan merupakan langkah maju dalam upaya terciptanya peradilan pidana yang terpadu, yang tidak hanya dalam tataran teoritis namun juga praktis. Oleh karenanya, pembentukan RUU ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kesisteman, artinya memberikan perhatian secara berimbang diantara sub sub system yang terlibat dalam pelaksanaan tugas Pemasyarakatan, yaitu masyarakat, petugas, warga binaan pemasyarakatan, beserta elemen pendukung lainnya (seperti elemen pembiayaan, sarana, dan lainnya).




1 komentar:

  1. Mantap, terima kasih pak, salam kenal dari kami Lapas Sarolangun, sebuah lapas yang nun jauh di provinsi Jambi

    BalasHapus