Minggu, 03 Juli 2011

LANDASAN FILOSOFIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PEMASYARAKATAN oleh Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP, M.Si.


 LANDASAN FILOSOFIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG  TENTANG SISTEM PEMASYARAKATAN
(Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP, M.Si.)

A.     Pendahuluan
Politik hukum nasional Indonesia, sejatinya  mengacu kepada visi Negara. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakatan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan perdamaian dunia demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam kaitan ini, maka hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) harus dapat mengarahkan segenap potensi yang dimiliki bangsa agar cita-cita luhur tersebut dapat tercapai.
Eksistensi hukum pidana yang implementasinya dilakukan melalui sistem peradilan pidana (SPP) seharusnya ditopang oleh 3 (tiga) undang-undang pokok. Pertama, KUHP sebagai hukum materiil, kedua; KUHAP sebagai hukum formil dan ketiga; undang-undang pelaksanaan Hukum Pidana (materiil dan formil)  yang menurut Hans Kelsen kedudukan hukum ini berada dalam lingkungan hukum administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan warga negara, ia mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Seperti diketahui bahwa secara konstitusional, warga negara atau rakyat memiliki hak-hak yang diatur secara tegas dalam pasal 28 UUD.  Dalam saat yang bersamaan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak konstitusional rakyatnya. Dengan demikian hakekat yang sebenarnya dari adanya suatu negara yang dilaksanakan oleh suatu pemerintahan adalah melaksanakan pelayanan yang seoptimal mungkin kepada rakyat melalui pelayanan sipil dan pelayanan publik.
Dalam ilmu pemerintahan (yang merupakan cabang dari ilmu administrasi negara) ada pembedaan antara pelayanan publik dan pelayanan sipil. Taliziduhu (2008) menjelaskan bahwa pelayanan publik merupakan pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, pelayanan publik merupakan kewenangan pemerintah sebagai pelaksana negara. Terhadap pelayanan publik ini, rakyat mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmatinya dengan didasarkan pada pilihan mereka masing-masing. Rakyat mempunyai kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan pelayanan publik atau tidak karena untuk mendapatkan pelayanan publik tersebut ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan oleh rakyat yang menggunakannya walaupun biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan tersebut relatif kecil.
Selain itu, pelayanan sipil, menurut Taliziduhu, adalah pelayanan yang merupakan kewajiban negara sebagai wujud untuk memberikan perlindungan hak asasi, hak sipil, dan hak konstitusional. Karena pelayanan sipil merupakan kewajiban, akses untuk mendapatkan pelayanan sipil tersebut harus bebas biaya (gratis). Adapun tujuan diselenggarakannya pelayanan sipil ini adalah untuk mengakui, melindungi, menyelamatkan, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM) dan lingkungannya.
Dilihat dari sisi ilmu pemerintahan tersebut, maka pelaksanaan sistem pemasyarakatan adalah merupakan pengewajantahan dari pelayanan sipil, yang mana setiap orang (pelanggar hukum) yang dikenakan pemidanaan/upaya paksa oleh pihak yang berwenang berdasarkan hukum harus dijamin hak-haknya agar pelaksanaan penegakan hukum tersebut tidak melangggar HAM.
Jadi, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, bagaimana menyusun kodifikasi aturan (hukum) pelaksanaan pidana (baik formil maupun materiil) berdasarkan Sistem Pemasyarakatan agar dapat diimplementasikan secara terintegrasi? (Ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis)
Kedua, bagaimana menyusun materi muatan Undang-Undang Sistem Pemasyarakatan agar eksistensi dari kesisteman tidak mengalami kegagalan?