Selasa, 28 Juni 2011

PENGHUKUMAN


Makna dan Metode Penghukuman

The mood and temper of the public with regard to the treatment of crime and criminals is one of the unfailing tests of the civilization of any country” (Winston Churchill, 1910).

Definisi Penghukuman
            Penghukuman sudah ada seiring dengan eksistensi manusia. Manusia telah menciptakan aturan atau norma-norma yang harus dipatuhi dan menetapkan perilaku-perilaku yang akan dikategorikan sebagai perilaku yang melanggar norma atau aturan tersebut. Penciptaan aturan adalah sebagai upaya untuk membangun kehidupan bersama yang tertib sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat itu sendiri.
             Secara sederhana, penghukuman (punishment) dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan yang dikenakan terhadap seseorang atau sekelompok orang karena dianggap telah melakukan perbuatan jahat. Beberapa ahli berpendapat bahwa penghukuman adalah kondisi yang harus ada sebagai alat kontrol sosial. Van den Haag berpendapat bahwa penghukuman – jika bukan satu-satunya, atau pertama, atau alat terbaik agar orang dapat mematuhi hukum – adalah sesuatu yang tak dapat dihindari (punishment-if not only, or the first, or even the best means of making people obey laws-is ultimately indispensable).
H.L.A. Hart[1] mengkonstruksikan definisi penghukuman dengan mempersyaratkan adanya lima elemen, yaitu:
1.    It must involve pain or other consequences normally considered unpleasant.
2.    It must be for an offence against legal rules.
3.    It must be of an actual or supposed offender for his offense.
4.    It must be intentionally administered by human beings other than the offender.
5.    It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against which the offence is committed.

Terjemahan bebasnya:

1.    Adanya rasa sakit atau konsekuensi normal lainnya sebagai akibat perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.
2.    Dikenakan karena adanya pelanggaran terhadap aturan hukum.
3.    Dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum.
4.    Diatur secara sengaja oleh masyarakat.
5.    Penghukuman dijatuhkan dan dikenakan terhadap orang yang melakukan pelanggaran hukum oleh lembaga yang diberikan kewenangan secara sah secara hukum.


Hart mendasarkan pada fakta bahwa penghukuman harus dikenakan karena adanya pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan. Tanpa adanya penghukuman terhadap pelanggaran hukum justru dapat mengakibatkan demoralisasi terhadap orang-orang yang telah mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Emile Durkheim; unpunished deviance tended to demoralize the conformist.
Terhadap definisi yang diajukan oleh Hart, Herbert L. Packer[2] mengajukan satu elemen lagi untuk melengkapi pendapat Hart, yaitu penghukuman harus dikenakan untuk tujuan mencegah dilakukannya kembali perbuatan yang melanggar hukum atau mencegah adanya pembalasan dari pelaku kejahatan, atau keduanya.
Pendeskripsian tentang penghukuman juga diungkapkan oleh Jerome Hall yang menyatakan bahwa penghukuman mencakup enam komponen, yaitu sebagai berikut:
First, punishment is a privation (evil, pain, disvalue). Second, it is coercive. Third, it is inflicted in the name of the state; it is “authorized”. Fourth, punishment presupposes rules, their violation, and a more or less formal determination of that, expressed in a judgment. Fifth, it is inflicted upon an offender who has commited a harm, and this presupposes a set of values by reference to which both the harm and the punishment are ethically significant. Sixth, the extent or type of punishment is in some defended way related to the commission of the harm, and aggravated or mitigated by reference to the personality of the offender, his motives and temptation.[3]

Terjemahan bebasnya:

Pertama, penghukuman adalah suatu pengurangan (kejahatan, kesakitan, tidak bernilai). Kedua, penghukuman bersifat memaksa. Ketiga, penghukuman dikenakan atas nama negara; penghukuman merupakan ”kewenangan”. Keempat, penghukuman dianggap sebagai sebuah aturan, pelangaran terhadap aturan, ketetapan yang lebih atau kurang formal, ditetapkan dalam sebuah keputusan hukum. Kelima, penghukuman dikenakan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan, dan merupakan seperangkat nilai yang secara etis bersifat penting berkaitan dengan kejahatan dan penghukuman. Keenam,  penghukuman adalah dalam beberapa cara dipertahankan oleh komisi kejahatan, dan diperingan dengan didasarkan pada kepribadian, motivasi, dan niat pelaku.


Pendefinisian penghukuman juga dapat didasarkan pada teori penghukuman, yaitu; retributive, detterent, atau reformatory. Berdasarkan teori retributive, penghukuman adalah memberikan rasa sakit, yang diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan (by an appropriate authority), terhadap seseorang yang dianggap bersalah melakukan kejahatan. Definisi ini tidak mempermasalahkan tentang siapa yang memberikan kewenangan terhadap “an appropriate authority”, tetapi yang lebih penting adalah siapa yang dikenakan hukuman dan mengapa. Selain itu, dalam definisi ini juga menggunakan kata kejahatan (crime) untuk menunjukkan perilaku yang melanggar aturan, hukum, moral, atau hak-hak orang lain.
Dalam teori detterent, penghukuman adalah memberikan rasa sakit kepada seseorang dengan tujuan untuk mencegah orang tersebut mengulangi kejahatanya atau mencegah orang lain melakukan kejahatan. Penghukuman tidak ditujukan untuk me-reform pelaku. Dalam hal ini, me-reform diartikan sebagai upaya untuk menghindarkan diulanginya kejahatan, bukan ditujukan untuk takut terhadap hukuman. Penghukuman ditujukan untuk memberitahukan bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.
Sedangkan berdasarkan teori reformatory, penghukuman adalah memberikan rasa sakit terhadap seseorang untuk menghilangkan kecenderungan melakukan kejahatan.[4]
Berdasarkan beberapa definisi penghukuman di atas dapat disimpulkan bahwasannya untuk mendapatkan pendefinisian yang lebih lengkap harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas, misalnya menyangkut siapa yang dapat memberikan hukuman, perbuatan apa yang dapat dikenakan hukuman, dan apa tujuan dikenakan hukuman tersebut.

Metode Penghukuman
Perkembangan masyarakat, baik perkembangan secara sosial, ekonomi, maupun teknologi telah berpengaruh terhadap bentuk atau metode penghukuman. Richard W. Snarr[5] mengidentifikasi enam metode umum penghukuman, yaitu: banishment, capital punishment, corporal punishment, economic punishment, incarceration, dan bentuk intervensi lainnya.


  1. Banishment
Banishment merupakan metode penghukuman dengan cara memisahkan (membuang atau mengasingkan) pelaku kejahatan dari kehidupan masyarakat. Banishment ini merupakan metode penghukuman yang dianggap kejam dan memberikan rasa sakit. Bahkan merupakan metode penghukuman yang paling dihindari (ditakuti). Pada sebuah kasus, Socrates lebih memilih meminum secangkir racun daripada mendapatkan hukuman pengasingan (banishment).
  1. Capital Punishment
Metode penghukuman lain yang sudah dikenal sejak awal peradaban manusia adalah Capital punishment (hukuman mati). Capital punishment merupakan eksekusi yang dilakukan oleh negara (pemerintah) terhadap orang yang telah melakukan kejahatan yang bersifat spesifik dengan memberikan hukuman mati.[6]
Beberapa cara yang digunakan dalam melakukan eksekusi mati, misalnya dengan membakar (burning), menyalib (crucifixion), memenggal kepala (guillotine), digantung (hanging), kursi listrik (electrocution), suntik mati (lethal injection), dll.
Metode penghukuman ini dianggap sebagai metode penghukuman yang bertentangan dengan upaya-upaya untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku kejahatan. Hingga saat sekarang, metode penghukuman ini masih banyak diterapkan di beberapa negara, walaupun masih diperdebatkan efektifitasnya.
  1. Corporal Punishment
Metode penghukuman ini merupakan suatu metode penghukuman yang cenderung bertujuan untuk memberikan rasa sakit secara fisik terhadap pelaku kejahatan. Pemberian rasa sakit ini biasanya dilakukan dengan cara mencambuk atau memotong anggota tubuh pelaku kejahatan.Pemberian rasa malu juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam metode penghukuman ini, karena pengenaan hukuman akan dilakukan di hadapan publik (masyarakat). Masyarakat dapat mengetahui kejahatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan dan menyaksikan hukuman yang diterimanya.
  1. Economic Punishment
Economic punishment  merupakan metode penghukuman dengan mengambil harta pelaku kejahatan sebagai ganti atas kerugian yang diderita oleh korban kejahatan. Hilangnya pendapatan yang dialami oleh pelaku kejahatan akibat adanya penghukuman juga dapat dikategorikan sebagai metode penghukuman ini. Karena mungkin saja pelaku kejahatan merupakan orang yang mempunyai penghasilan yang baik, harta yang banyak, dan aset yang berlimpah. Pada masyarakat yang menempatkan status seseorang berdasarkan kepemilikan atas harta, metode penghukuman ini dianggap sebagai metode penghukuman yang efektif.
  1. Incarceration
Incarceration merupakan metode penghukuman dengan cara menempatkan pelaku kejahatan ke dalam pejara. Pada dasarnya, bentuk penghukuman ini ditujukan agar pelaku kejahatan tidak dapat melakukan kejahatannya lagi.
Incarceration merupakan metode penghukuman yang banyak diterapkan di negara-negara di dunia. Terdapat dua tipe metode penghukuman ini, yaitu[7]:
a.    Split sentences dan shock incarceration; pelaku kejahatan menjalankan hukuman di dalam penjara terlebih dahulu, dan kemudian dapat menjalankan sisa hukumannya di luar penjara. Bentuk hukuman ini mengkombinasikan adanya supervisi dari masyarakat dengan terlebih dahulu menjalani hukuman di dalam penjara.
b.    Incarceration; pelaku kejahatan menjalankan hukuman di dalam penjara berdasarkan keputusan hakim pengadilan.
Penjatuhan hukuman dengan metode incarceration ini lebih luas lagi dapat diklasifikasikan sebagai[8]: (1) nondiscretionary; (2) limited discretionary; dan (3) discretionary. Nondiscretionary berarti bahwa hakim tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan alternatif hukuman selain memenjarakan. Hakim tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan diskresi. Oleh karena itu, hukuman penjara menjadi alternatif yang harus dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan. Limited discretionary berarti bahwa hakim mempunyai kewenangan untuk memberikan bentuk hukuman lain, seperti pidana bersyarat (probation). Tetapi jika hakim memutuskan bentuk hukuman penjara maka masa hukuman tersebut dapat dikurangi dengan memberikan pembebasan bersyarat (parole). Discretionary berarti hakim mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam memberikan bentuk-bentuk hukuman, seperti penangguhan hukuman (suspend sentence), pidana bersyarat dengan jaminan (grant probation), atau apabila hakim memutuskan untuk memberikan hukuman kurungan (incarceration) maka lembaga parole dapat memberikan control selama menjalani hukuman kurungan tersebut.
  1. Detterence
Metode penghukuman yang lain adalah dengan memberikan rasa jera terhadap pelaku kejahatan (detterence). Metode penghukuman ini adalah ditujukan untuk melindungi masyarakat dari dilakukannya kejahatan dan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan.
Fungsi Penghukuman
Menurut Dirdjosisworo[9], secara historis, fungsi hukuman sebagai salah satu alat menghadapi kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang dan mengalami perubahan-perubahan serta perkembangan, dari satu cara yang bersifat pembalasan (retribution) terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan; terus berubah dan berkembang kearah fungsi hukuman (khususnya hukuman penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Jackson Toby dalam essainya yang berjudul Is Punishment Necessary mengungkapkan bahwa penghukuman merupakan sarana atau alat kontrol sosial yang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai alat pencegah kejahatan (punishment as a means of crime prevention), alat untuk mempertahankan moral orang-orang yang patuh (punishment as a means of sustaining the morale of conformists), dan sebagai alat untuk mereformasi pelaku kejahatan (punishment as a means of reforming the offender).[10]

Tujuan dan Kegunaan Penghukuman
Setiap masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda terhadap pengenaan suatu penghukuman terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap melakukan perbuatan jahat. Penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh satu masyarakat dapat saja mempunyai tujuan untuk mencegah dilakukannya kejahatan. Sedang pada masyarakat lain, penghukuman dijadikan sebagai sarana untuk melakukan reformasi terhadap pelanggar hukum. Louis P. Carney memberikan gambaran tentang tujuan penghukuman, yaitu sebagai berikut:
Punishment can expresses the collective societal disapproval for certain types of misbehavior. It provides an opportunity for atonement or expiation. It is designed to deter the offender and others for recidivism. It is catalyst for reformation. It seek to secure the common good. Punishment of the offender vicariously rewards those who obey the law[11].

Terjemahan bebasnya:

Penghukuman dapat menunjukkan bentuk ketidaksukaan masyarakat secara kolektif terhadap beberapa bentuk perilaku yang tidak sesuai. Penghukuman ini merupakan suatu kesempatan untuk melakukan penebusan kesalahan. Penghukuman didisain untuk mencegah agar pelaku dan masyarakat yang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dan merupakan katalisator untuk melakukan perubahan. Penghukuman ditujukan untuk mengamankan perbuatan-perbuatan yang secara umum dianggap baik. Penghukuman terhadap pelaku kejahatan dapat dianggap sebagai hadian bagi mereka yang mematuhi hukum.


Penghukuman mempunyai kegunaan yang hampir serupa dengan tujuan penghukuman. Dalam Encyclopedia of Prison and Punishment[12], penghukuman mempunyai empat kegunaan utama, yaitu: pembalasan (retribution), pemenjaraan (incapacitation), penjeraan (detterence), dan rehabilitasi (rehabilitation). Richard W. Snarr mengungkapkan hal yang sedikit berbeda tentang kegunaan penghukuman. Menurut Snarr[13], tujuan penghukuman adalah pembalasan (retribution), inkapasitasi (incapatitation), reintegrasi (reintegration), dan resosialisasi (resocialization).
1.      Retribution
Retribution (Pembalasan) merupakan paradigma penghukuman yang dianut oleh masyarakat kuno. Paradigma ini menitikberatkan pada pembalasan dendam (retaliation, revenge). Penjatuhan hukuman merupakan pembalasan (yang setimpal) atas penderitaan, kerugian, dan kemarahan masyarakat atas perbuatan pelaku kejahatan. Dalam teori retribution ini, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain. Korban harus diberikan kompensasi atas penderitaan yang mereka alami, baik perbuatan itu sengaja maupun tidak sengaja, dan pelaku kejahatan harus dijatuhi hukuman atas perbuatan jahat yang mereka perbuat.
Retribution ini didasarkan pada konsep lex talionist, yaitu pembalasan yang seimbang dan bersifat langsung. Dalam kitab Hebrew disebutkan; ”an eye for an eye, a tooth for a tooth, an arm for an arm, a life for a life.” Konsep lex talionist ini secara terang tertuang dalam kitab Hammurabi (Code of Hammurabi), sebagai berikut:
229. If a builder constructed a house for seignior (a feudal lord), but did not made his work strong, with the result that the house wich he built collapsed and so has caused the dead of the owner of the house, that builder shall be put to death.
230. If it has caused the death of a son of the owner of the house, they shall put the son of that builder to death.
231. If it has caused the death of a slave of the owner of the house, he shall give slave for slave to to the owner of the house.
232. If it has destroyed goods, he shall make good whatever it destroyed. Also, because he did not make the house strong which he built and it collapse, he shall reconstruct the house which collapse at his own expense.

Sir Walter Moberly berpendapat bahwa retribution harus didasarkan pada tiga hal, yaitu: (1) Pengenaan pembalasan adalah untuk memberikan rasa kesakitan terhadap orang yang telah melanggar kode atau aturan yang telah ditetapkan (Retaliatory retribution refers to the intentional infliction of an appropriate amount of suffering on a competant individual who has breached some code); (2) Adanya distributive retribution artinya bahwa pembalasan dikenakan secara terbatas hanya terhadap orang yang melakukan pelanggaran/kejahatan. (Distributive retribution means that retribution is restricted to individuals who have committedd offenses); (3) Adanya Quantitative retribution artinya bahwa pemberian derita tidak dapat melebihi batas. (Quantitative retribution involves the limitations so that inordinate suffering is not imposed).
Dalam teori retribution, untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan akan mendapatkan penghukuman harus memperhatikan dua hal, yaitu actus reus (a guilty act) dan mens rea (a guilty state of mind). Actus reus diartikan bahwa penghukuman akan dikenakan kepada pelaku kejahatan apabila mereka benar-benar telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan mens rea diartikan bahwa penghukuman tidak dapat dikenakan kepada mereka yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang mereka lakukan. Orang yang sakit jiwa merupakan salah satu contoh orang yang dianggap tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan sehingga mereka tidak dapat dikenakan hukuman.
Dasar pemikiran teori pembalasan/retribusi (retribution) biasanya dihubungkan dengan model pemidanaan justice model, berhubungan pula dengan konsep just deserts; pidana dijatuhkan karena pelakunya memang layak menerima hukuman tersebut. Dalam Encyclopedia of Prison and Punishment disebutkan:”The punishment theory of just desert involves the rational and moral justification of penalties for criminals who are said to “deserve” the punishment they receive for their crimes.”[14]
2.      Detterence
Paradigma Detterence (Penjeraan) bertitik tolak pada upaya untuk mencegah dilakukannya kejahatan. Setiap tindak kejahatan akan mendapat hukuman, dimana hukuman tersebut merupakan upaya untuk mencegah pelaku melakukan kembali tindak kejahatannya. Detterence ini mempunyai dua dasar pemikiran yaitu mencegah dilakukannya kembali kejahatan oleh pelaku kriminal (special detterence) dan mencegah agar masyarakat tidak melakukan kejahatan sebagaimana yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan (general detterence).
Pada perkembangannya, paradigma detterence tidak hanya didasarkan pada pemikiran untuk memberikan penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Pengenaan hukuman juga didasarkan pada upaya untuk mengubah pelaku kejahatan agar menjadi warga masyarakat yang mempunyai komitmen untuk mematuhi hukum. Hal ini diungkapkan oleh Barnes bahwa; detterence could occur in two ways: “through reinforcing the anti criminal values of society and changing criminals into non criminals.”[15] Pendapat Barnes ini memberikan satu penegasan bahwa paradigma detterence mempunyai dua tujuan, yaitu: pertama, untuk memperkuat nilai-nilai anti criminal; kedua, untuk mengubah pelaku kriminal menjadi tidak kriminal.
Ada tiga filsuf yang mempunyai kontribusi besar pada perkembangan teori detterence ini, yaitu Thomas Hobbes, Cecare Beccaria, dan Jeremy Bentham. Thomas Hobbes (1588-1679) merupakan tokoh yang mengenalkan teori kontrak sosial. Ada dua aspek penting dalam teori kontrak sosial ini, yaitu peraturan-peraturan apa yang harus dipatuhi dan hukuman yang akan diterima apabila melanggar peraturan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan teori detterence didasarkan pada alasan yang sederhana, yaitu untuk menyelamatkan dan menjaga agar kontrak sosial tersebut dapat terjaga atau terselenggara.
Cecare Beccaria (1738-1794) merupakan filsuf yang mempelopori bentuk penghukuman yang lebih manusiawi. Beccaria mengelaborasi dua aspek penting dalam penghukuman, yaitu proportionate punishment (penghukuman yang seimbang) dan the intended objects of punishment (tujuan penghukuman). Dalam pandangan Beccaria, proportionate punishment harus didasarkan pada besarnya kejahatan yang dilakukan; misalnya pencurian sepotong roti seharusnya tidak mendapatkan penghukuman yang berat. Sedangkan berkaitan dengan the intended objects of punishment, Beccaria berpendapat bahwa penghukuman perlu memperhatikan dampak penghukuman tersebut terhadap pelaku (specific detterence). Penghukuman ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan tersebut oleh pelaku.
Jeremy Bentham (1748-1832) mengelaborasi tiga aspek penghukuman  agar mempunyai dampak penjeraan, yaitu severity (kekerasan), certainty (kepastian), dan celerity (kecepatan). Dalam pandangan Bentham, penghukuman yang mempunyai dampak penjeraan adalah (a) mempunyai tingkat kecepatan yang menunjukkan tindakan yang serius, dan (b) pelaksanaan penghukuman adalah cepat dan  mempunyai kepastian.
3.    Incapacitation
Paradigma Inkapasitasi dapat diartikan sebagai upaya untuk menurunkan/menghilangkan kemampuan palaku kejahatan melakukan kejahatannya. Inkapasitasi (incapacitation) merupakan paradigma penghukuman yang berada pada transisi antara penghukuman yang bersifat reaktif dan proaktif.
Menurut Snarr, tindakan inkapasitasi dimaksudkan agar pelaku tidak dapat melakukan kembali perilaku jahatnya.[16] Bentuk dari inkapasitasi (yang paling umum digunakan) adalah pemenjaraan (incarceration). Tindakan pemenjaraan merupakan tindakan yang membatasi kemerdekaan pelanggar hukum. Tindakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah agar pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan.
Inkapasitasi berhubungan dengan model penjagaan (custodial model). Model  ini memandang bahwa perilaku pelanggar hukum tidak akan berubah melalui pemenjaraan tetapi paling tidak, dalam waktu tertentu (ketika pelanggar hukum dipenjara) ia tidak dapat melakukan tindakan yang mengancam masyarakat. Upaya melindungi masyarakat menjadi kepentingan yang dominan. Masyarakat terlindungi (dari kejahatan) ‘hanya’ pada saat pelaku kejahatan berada di penjara.
4.    Resosialization and Rehabilitation
Dasar pemikiran resosialisasi ini adalah bahwa pemidanaan dimaksudkan  sebagai sarana untuk menghilangkan keinginan/motivasi individu untuk melakukan kejahatan. Selama menjalani pidana, pelanggar hukum menjalani treatment berupa program konseling, pendidikan, dan pelatihan kerja.
Dasar pemikiran resosialisasi sering dihubungkan dengan model rehabilitasi (rehabilitation model). Rehabilitasi merupakan pembenaran atas digunakannya penghukuman, dimana penghukuman ini merupakan alat terakhir yang digunakan karena tidak berdayanya hukum (lawlessness).
Model rehabilitasi menganjurkan bahwa sanksi seharusnya digunakan untuk mengubah apa yang menyebabkan pelaku melakukan pelakukan kejahatan. Perubahan ini sebagai hasil dari intervensi yang direncanakan (seperti, partisipasi dalam program pembinaan narkoba) dan proses tersebut termasuk dalam melakukan perubahan secara individu (seperti, mengubah sikap dan perilaku mereka), atau memodifikasi lingkungan hidup pelaku dan kesempatan sosial (seperti, membantu mereka mendapatkan pekerjaan).

The rehabilitation model posits that sanctions should be used to change what caused the offender to commit crime in the first place. This change is the result of a planned intervention (e.g., participation in a drug treatment program) and the process may involve changing an individual (e.g., altering his or her attitudes and behaviors), or modifying the offender’s life circumtances and social opportunities (e.g., helping him or her find a job).[17]


Pembinaan dalam model ini lebih difokuskan pada upaya ‘memperbaiki’ individu pelanggar hukum. Pembinaan dimaksudkan untuk membantu individu agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Pelanggar hukum dianggap sebagai orang yang sakit. Upaya pembinaan difokuskan pada sumber penyakit (penyebab perilaku pelanggar hukum) bukan pada masyarakat atau institusi sosial yang mungkin telah gagal membantu/mengarahkan pilihan-pilihan tindakan pelanggar hukum sehingga ia memilih untuk melakukan kejahatan. Upaya pembinaan (perbaikan perilaku) difokuskan pada upaya ‘mengobati’ pelaku kejahatan, sementara perubahan masyarakat tidak dipentingkan.
Dasar filosofi model rehabilitasi ini adalah bahwa setiap individu seharusnya mendapat pembinaan yang berbeda yang didasarkan pada kebutuhan dan lingkungan tertentu yang memberikan kontribusi terhadap dilakukannya kejahatan. Oleh karena itu, model rehabilitasi adalah model yang komplek.


[1] H.L.A. Hart, Punishment and responsibility, Oxford: Oxford Unversity Press, 1968
[2] Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford; Stanford University Press, 1968.
[3] Dikutip dalam Richard W. Snaar, Introduction to Corrections, third edition, Madison, Dubuque.IA, Guifford,CT., Chicago, Toronto, London, Caracas, Mexico City, Benos Aires, Madrid, Bogota, Sydney; Brown & Benchmark publisher, 1996:54.
[4] K.G. Amstrong, The Retributivist Hits Back, dalam Stanley E. Grupp, ed. Theories of Punishment, Bloomington, London, Indiana University Press, 1971:pg.27.
[5] Richard W. Snaar, Introduction to Corrections, third edition, Madison, Dubuque.IA, Guifford,CT., Chicago, Toronto, London, Caracas, Mexico City, Buenos Aires, Madrid, Bogota, Sydney; Brown & Benchmark publisher, 1996:55-61.
[6] David Levinson, ed., Encyclopedia of Crime and Punishment, London, New Delhi, Sage Publication, 2002:159.
[7] Richard W. Snarr, op.cit.:68.
[8] Richard W. Snarr, ibid.:68.
[9]Soedjono Dirjosisworo, Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan), Bandung: Armico, 1984:11.
[10] Dikutip dalam Stanley E. Grupp, ed. Theories of Punishment, Bloomington, London, Indiana University Press, 1971:102-112.
[11] Louis P. Carney, Corrections; Treatment and Philosophy, New Jersey, Prentice Hall, Inc, 1980:11
[12] David Levinson, ed., Op.cit.: 1399.
[13] Richard W. Snaar, op.cit.
[14] David Levinson, ed., op.cit. 970.
[15] Dikutip dalam Richard W. Snaar, op.cit. 58
[16] Richard W. Snaar, ibid.:58.

[17] David Levinson, ed., op.cit. 1360.

CETAK BIRU PEMASYARAKATAN


CETAK BIRU PEMBAHARUAN PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN


BAB I

PENDAHULUAN  
 

1.      Latar Belakang 

Posisi sistem pemasyarakatan di ranah strategis pembaruan hukum nasional, kenyataannya belum mendapatkan perhatian secara memadai. Untuk mengupayakan pembaruan pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam kerangka pembaruan hukum nasional secara menyeluruh, diperlukan suatu dokumen posisi yang menguraikan secara kritis, mendetail, dan tuntas permasalahan-permasalahan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan baik dalam konteks internal kelembagaan maupun faktor-faktor eksternal yang secara timbal balik berpengaruh terhadap pelaksanaan misi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 

Sejak awal disadari bahwa menempatkan sistem pemasyarakatan dalam kerangka pembaruan hukum nasional merupakan suatu usaha bertahap dan dinamis.  Berpangkal dari kesadaran tersebut, maka penting untuk membangun suatu argumentasi yang didasarkan pada kondisi obyektif beserta analisis secara holistik atas unsur-unsur yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi petugas pemasyarakatan. Dengan demikian akan diperoleh suatu formula yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang terjadi dalam sistem pemasyarakatan, dengan langkah-langkah perubahan yang jelas dan terukur. Dalam merangkum dan mengurai langkah-langkah pembaruan tersebut, maka disusunlah naskah Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu dokumen posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menyikapi kondisi dan situasi sistem pemasyarakatan yang sekarang ini berjalan, disertai dengan rumusan-rumusan upaya perubahannya ke depan. 

B. Tujuan

Secara umum tujuan disusunnya naskah cetak biru ini adalah terumuskannya suatu dokumen yang lengkap dan tuntas yang menjadi panduan bagi semua pihak dalam upaya meneguhkan posisi sistem pemasyarakatan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, serta dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum. 

Secara khusus naskah cetak biru bertujuan untuk:
Pertama, memberikan gambaran mengenai kondisi obyektif saat ini (ketika cetak biru ini disusun) sebagai sarana refleksi dan evaluasi atas pelaksanaan sistem pemasyarakatan;
Kedua, merumuskan langkah-langkah strategis di masa mendatang dalam kerangka melaksanakan misi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menjawab tantangan dan hambatan yang ada;
Ketiga, secara praktis naskah Cetak Biru Pembaruan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan merupakan dokumen utama yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Direktorat Pemasyarakatan tahun 2010-2015.


C.  Cakupan Penyusunan Cetak Biru

Cakupan langkah-langkah dalam penyusunan naskah cetak biru setidaknya terdiri dari empat ruang lingkup aktivitas yakni:
Pertama, analisa terhadap berbagai faktor yang membentuk dan mempengaruhi lingkungan di mana sistem pemasyarakatan berada dan bekerja;
Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dalam bekerjanya sistem Pemasyarakatan;
Ketiga, merumuskan pilihan-pilihan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam bekerjanya sistem pemasyarakatan; dan
Keempat, menyusun suatu rencana tindak dalam suatu kategori-kategori prioritas aksi serta mengembangkan langkah-langkah kongkrit untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut dalam jangka pendek dan menengah.

Sedangkan cakupan isu yang dimuat dalam naskah cetak biru, secara garis besar  menjangkau ranah internal organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara khusus serta instansi-instansi lain yang terkait didalam lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jangkauan pembahasan pada ranah internal ini mencakup analisa terhadap berjalannya organisasi dan tata kerja dalam mengemban tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan dan kendala-kendala yang ada untuk melaksanakan misi pemasyarakatan. 

Ranah lain yang menjadi jangkauan dari pembahasan naskah cetak biru ini adalah menyangkut hubungan Pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana yang saat ini berjalan dalam penegakan hukum di Indonesia. Cakupan substansi yang dibahas dalam ranah hubungan Pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana adalah didasarkan pada satu konsepsi sistem yang di dalamnya terdapat kompleksitas dinamika dan interaksi di antara institusi penegak hukum sebagai satu kesatuan hubungan di mana satu sama lainnya saling bergantung.

Pokok-pokok bahasan yang dicakup dalam naskah cetak biru adalah:
  1. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
  2. Hubungan Sistem Pemasyarakatan dengan Lembaga Penegak Hukum Lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
  3. Tinjauan Manajemen Organisasi
  4. Manajemen Sumber Daya Manusia
  5. Perencanaan dan Penganggaran
  6. Pola Pembimbingan, Pelayanan, Pengelolaan, Pembinaan, Pengamanan, dan Sistem Informasi Pemasyarakatan
  7. Pengawasan dan Partisipasi Publik
  8. Manajemen Perubahan


D.  Alur Penyusunan Cetak Biru 

Rancangan disain program penyusunan cetak biru terdiri dari dua kegiatan pokok, yakni penelitian dan penyusunan naskah cetak biru.  Dua kegiatan tersebut secara programatik merupakan satu rangkaian kegiatan.  Hasil analisa dari penelitian yang dilakukan, akan menjadi bahan bahan utama dalam penyusunan cetak biru. Untuk itu penyusunan disain penelitian, telah diarahkan untuk mengacu kepada kerangka isu-isu krusial yang akan dimuat dalam naskah cetak biru. 

Dalam penelitian setidaknya terdapat tiga tahapan dalam melakukan analisa dan pengambilan kesimpulan yakni:
Pertama, kajian pustaka. Kajian pustaka ini dilakukan terhadap sejumlah penelitian yang telah dihasilkan terkait dengan permasalahan yang dihadapi sistem pemasyarakatan. Selain melakukan kajian pustaka terhadap penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, tim peneliti juga melakukan pengkayaan referensi yang khususnya terkait dengan disiplin ilmu hukum, ilmu pemasyarakatan, kriminologi, dan sosiologi.  Analisis mengenai kerangka  kerja hukum dan kebijakan juga dilakukan untuk memberikan ulasan atas kondisi normatif yang memiliki pengaruh terhadap performa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi petugas pemasyarakatan dan bekerjanya sistem pemasyarakatan. 

Kedua, penelitian lapangan. Penelitian lapangan dirancang sebagai langkah-langkah konfirmasi atas sejumlah temuan penelitian serta bacaan terhadap analisa kerangka hukum dan kebijakan. Hal lainnya dimaksudkan untuk menemukan aspek-aspek yang belum pernah dibahas oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dan observasi.  Survei dipilih sebagai alat untuk melakukan pemetaan permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan secara komprehensif.  Observasi dan wawancara mendalam terhadap responden-responden terpilih bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam.

Ketiga, diskusi kelompok terfokus. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan sejumlah pemangku kepentingan dalam sistem pemasyarakatan baik di kalangan petugas pemasyarakatan maupun penegak hukum lainnya serta kalangan masyarakat yang memiliki perhatian dan bekerja dalam bidang/isu sistem pemasyarakatan. Terdapat empat tema sentral dalam diskusi kelompok terfokus yakni: Pelaksanaan misi pemasyarakatan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana serta faktor eksternal lain yang mempengaruhinya; aspek-aspek internal, manajemen organisasi dan perencanaan–penganggaran dalam menjalankan misi pemasyarakatan; pola-pola pembinaan, pembimbingan, pengelolaan, serta pengawasan dan partisipasi publik dalam pelaksanaan tugas pokok fungsi pemasyarakatan; dan aspek pangarusutamaan gender serta keadilan bagi anak dalam menjalankan misi pemasyarakatan.

Dalam penyusunan naskah cetak biru dilakukan dua besaran aktivitas sebagai berikut:
Pertama, penyusunan dan perumusan rancangan naskah cetak biru. Penyusunan dan perumusan draft pertama didasarkan pada hasil penelitian. Dalam proses penyusunannya, selanjutnya dilakukan pula langkah-langkah pengkayaan data/informasi dan konfirmasi ulang melalui serangkaian wawancara dan diskusi dengan berbagai narasumber terpilih. Selain itu tim cetak biru juga didampingi oleh pembaca ahli yang akan memberikan masukan bagi perbaikan naskah yang disusun.

Kedua, presentasi-presentasi naskah rancangan cetak biru. Presentasi dilakukan dalam dua lingkungan yang berbeda. Presentasi pertama dilakukan secara terbatas di kalangan internal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan lingkungan terkait di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Presentasi kedua dilakukan dengan lingkungan yang lebih luas kepada pemangku kepentingan lainnya di luar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.  Selain  dua presentasi tersebut dilakukan pula forum konsultasi publik naskah cetak biru Pemasyarakatan untuk mendapatkan input yang lebih luas dari berbagai kalangan. Presentasi-presentasi tersebut di atas dimaksudkan sebagai media untuk melakukan komunikasi dan menggali masukan dari berbagai kalangan bagi jalan penyempurnaan naskah cetak biru. 

















BAB II

SISTEM  PEMASYARAKATAN  INDONESIA

A. Perkembangan Sistem Pemasyarakatan

1. Batasan dan Filosofi Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Oleh karenanya, sub-sub sistem dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan, namun juga Rumah Tahanan Negara untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang milik warga binaan atau yang menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan warga binaan dan klien pemasyarakatan.

Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).

Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga dipengaruhi oleh kebijakan Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif.

Di ranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya mengubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hak-hak terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan pembimbingan, pembinaan dan pembinaan dalam sistem Pemasyarakatan pun dilakukan oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan. Dengan demikian pelaksanaan Pemasyarakatan menuntut profesionalitas sumber daya manusia yang akan memahami dengan baik tujuan Pemasyarakatan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, serta untuk menghindari perlakuan-perlakuan tidak manusiawi.  Selain itu, di dalam melaksanakan pembinaan dan pembimbingan, juga diperlukan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait serta lembaga kemasyarakatan untuk menunjang efektifitas.

Prinsip-prinsip ini pada dasarnya dapat dijadikan indikator dalam melihat keberhasilan pelaksanaan Pemasyarakatan dewasa ini. Meskipun bila dilihat lebih jauh, indikator yang dimaksud lebih berupa asas dan pemenuhan hak-hak narapidana. Namun demikian, indikator ini justru menjadi ruh dari keseluruhan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Indikator-indikator lain dalam melihat keberhasilan ini, seperti dari aspek sumber daya manusia dan teknis pelaksanaan Pemasyarakatan, merupakan indikator yang akan didasari oleh asas pelaksanaan Pemasyarakatan ini.  Bila mengacu pada Didin Sudirman (2007), perlindungan hak asasi aanusia merupakan indikator utama keberhasilan tugas dan fungsi pemasyarakatan, khususnya hak-hak dari Warga Binaan Pemasyarakatan dan Tahanan. Sistem Pemasyarakatan dalam hal ini merupakan instansi yang terlibat dalam penegakan hukum, mulai dari tahap pre-adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi. Pada masing-masing tahap inilah Sistem Pemasyarakatan berperan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia. Pada tahap pre-adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui Rutan berperan dalam memisahkan kewenangan yuridis penahanan di tangan kepolisian dan kejaksaan dengan kewenangan penahanan secara fisik. Pemisahan ini ditujukan untuk check and balances agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan dari pihak yang memiliki kewenangan secara yuridis.
           
Pada tahap adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui Balai Pemasyarakatan berperan dalam memberikan pertimbangan berdasarkan penelitian kepada pengadilan. Penelitian kemasyarakatan (Litmas) oleh Bapas diharapkan dapat memberi gambaran yang objektif tentang latar belakang  suatu peristiwa terjadi. Diharapkan setelah itu, pengadilan dapat memberikan keputusan yang tepat. Pada tahap pre-adjukasi dan adjudikasi ini, Rupbasan juga berperan dalam melindungi hak atas benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Rupbasan dalam hal ini berperan dalam menjamin keselamatan dan keamanan barang yang dimaksud.

Sementara itu, pada tahap post-adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui UPT Lapas berperan dalam memberikan pembinaan untuk melindungi hak asasi narapidana. Pembinaan dalam hal ini menjadi pencegah terjadinya prisonisasi (proses pembelajaran dalam kultur penjara) yang justru dapat membuat kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari pada sebelum ia masuk ke dalam Lapas.


Munculnya konsep Pemasyarakatan pada tahun 1964 pada dasarnya sangat terkait dengan adanya dorongan untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi dan melindungi hak-hak asasi terpidana, termasuk tahanan. Dorongan tersebut bahkan telah formalisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1955 dalam bentuk Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Di dalamnya terdapat sejumlah hak dan perlakuan minimum yang harus diberikan kepada terpidana/tahanan selama berada dalam institusi pejara/penahanan. Standard Minimum Rules dan munculnya konsep Pemasyarakatan inilah yang menandai peralihan sistem pemidanaan Indonesia dari sistem pemenjaraan yang dalam praktek lebih menekankan sentimen penghukuman (punitive sentiment) atau pembalasan (retributive).

Terkait dengan sejumlah perkembangan dalam pembangunan hukum di Indonesia dewasa ini, khususnya dalam konteks penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka ke depannya posisi Sistem Pemasyarakatan akan semakin penting. Reintegrasi sosial yang menjadi dasar filosofis Sistem Pemasyarakatan secara eksplisit telah menjadi bagian dari rencana nasional dalam pembaruan KUHP. Pada pasal 54 Rancangan KUHP dinyatakan, bahwa tujuan pemidanaan adalah;
a.Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sementara itu pada pasal 54 (2) juga ditegaskan bahwa; pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Rancangan ini ke depan akan memperkuat posisi Sistem Pemasyarakatan sebagai salah satu bagian integral Sistem Peradilan Pidana sekaligus mewarnai nuansa bekerjanya sub-sub Sistem Peradilan Pidana lainnya dalam konteks teknis dan filosofis.


2. Pemidanaan Masa Penjajahan
Diskusi tentang Sistem Pemasyarakatan sebagai proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari proses dan tujuan pemidanaan masa penjajahan Belanda dan masa-masa awal Indonesia merdeka. Sebagai negara yang pernah dijajah, sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh Belanda, demikian pula sistem pemidanaannya. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. KUHP yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht voor de Inlenders in Nederlandsch Indie ini telah ditetapkan Belanda sejak tahun 1872. Penjara-penjara Belanda juga masih digunakan hingga kini meskipun telah diubah penamaannya menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Kenyataan ini dalam banyak hal justru menjadi hambatan dalam implementasi Pemasyarakatan yang muncul kemudian.

Dalam KUHP yang berlaku masa penjajahan Belanda tersebut, jenis pidana utama bagi pribumi adalah pidana kerja, selain juga pidana mati dan denda. Pidana kerja ini dibagi menjadi pidana kerja paksa dan pidana dipekerjakan. Dalam kenyataannya, pidana kerja paksa ini identik dengan “pembuangan” karena pelaksanaannya dilakukan di luar dari daerah tempat keputusan pengadilan pertama dijatuhkan. Pembuangan ini dianggap sebagai upaya menambah penderitaan dari pidana kerja paksa tersebut. Tujuan utama dari pidana ini adalah untuk menunjang kepentingan kolonial, terutama kepentingan ekonomi, politik dan militer.



Tahun 1905 muncul kebijakan baru. Jika sebelumnya terpidana kerja paksa ditempatkan jauh dari daerah asalnya, dengan kebijakan baru ini kerja paksa dilakukan dalam lingkungan tembok penampungan terpidana. Alasan munculnya kebijakan baru ini adalah kurangnya kegunaan pidana kerja paksa yang dilakukan sebelumnya, serta atas alasan tidak adanya pengawasan yang efektif (dengan munculnya pelarian dan pekerja yang “bermalasan”). Perubahan dengan alasan ini dianggap dapat memenuhi sifat “membuat takut” dari pidana penjara. Dalam kebijakan ini dilakukan pengkonsentrasian para terpidana kerja paksa pada pusat-pusat penampungan wilayah, disebut “penjara-penjara pusat”, yang juga difungsikan untuk menampung tahanan, sandera, dan lainnya.

Untuk para terpidana kerja paksa inilah didirikan bangunan-bangunan “penjara” yang menampung mereka pada malam hari. Pemisahan terpidana dalam “penjara” ini tidak dilakukan. Perlakuan terhadap terpidana sangat tidak manusiawi. Sementara untuk terpidana yang berasal dari kalangan Eropa sendiri, didirikan tempat pelaksanaan pidana khusus yang disebut sebagai Centrale Gevangenis voor Europeanen (Penjara Pusat untuk Orang-orang Eropa) ‘Jurnatan’ yang berada di Semarang. Berbeda dengan bangunan-bangunan “penjara” untuk pribumi yang dipidana kerja paksa, bangunan penjara ‘Jurnatan’ inilah bangunan pertama yang memang difungsikan khusus untuk tempat pelaksanaan pidana di Indonesia.

Kebijakan baru perlakuan terhadap terpidana ini mulai dilaksanakan oleh Kepala Urusan Kepenjaraan. Sejak saat ini pula kepenjaraan merupakan suatu urusan yang mempunyai pimpinan pusat dengan dilengkapi oleh para pejabat-pejabat seperti inspektur, direktur, pegawai teknik, dan administratif. Bangunan fisik penjara dikelilingi oleh tembok setinggi 4,5 meter, terdiri dari kamar-kamar besar yang menampung sekitar 25 orang terpidana. Namun demikian, karakteristik fisik penjara sentral yang besar, dengan kapasitas 700-2700 terpidana potensial menjadi tempat penularan kejahatan serta kekerasan antar narapidana.

Setelah ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (sekarang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tanggal 15 Oktober 1915 (diberlakukan tanggal 1 Januari 1918), tidak dikenal lagi adanya “pidana kerja”, namun diganti dengan “pidana hilang kemerdekaan”. Bersamaan dengan diberlakukannya Wetbuk van Strafrecht ini diberlakukan pula Gestichten Reglement Staatsblad (Reglemen Penjara) 1917. Perubahan ini tidak terlalu menemukan kesulitan karena para terpidana kerja paksa sebelumnya juga sudah dikonsentrasikan di penjara-penjara sentral untuk merampas kebebasan bergeraknya. Pelaksanaan Reglemen Penjara ini baru benar-benar dilakukan sesudah tahun 1920, ketika digantinya sistem Penjara-Penjara Sentral dengan Sistem Penjara Pelaksana Pidana. Bersamaan dengan perubahan ke sistem Penjara Pelaksana Pidana ini, ditetapkan pula Rumah Tahanan untuk menampung orang-orang yang masih dalam proses pengadilan.

Salah satu keinginan dari Hijmans, Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, dalam pelaksanaan Sistem Penjara Pelaksana Pidana tahun 1921 adalah dilakukannya reformasi penjara yang memberikan perhatian kepada terpidana anak dan pengklasifikasian terpidana dewasa. Menurutnya, untuk anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun ditempatkan di “rumah pendidikan”. Keinginan Hijmans ini disetujui pemerintah Hindia-Belanda saat itu dengan ditetapkannya bangunan penjara lama di Madiun sebagai rumah penjara perbaikan untuk anak-anak terpidana laki-laki di bawah umur 19 tahun. Rumah penjara khusus untuk anak di Madiun ini merupakan penjara pertama untuk orang-orang Indonesia yang difungsikan sebagai pelaksana pidana. Satu pemikiran Hijmans lainnya terkait dengan kepentingan anak yang juga sangat maju saat itu adalah wacana penempatan anak di luar penjara dengan syarat (probation) serta keharusan untuk selalu mendahulukan penyelesaian perkara anak.


Pada masa pendudukan Jepang, struktur organisasi kepenjaraan dan bentuk-bentuk perlakuan terhadap terpidana tidak jauh berbeda dengan yang telah diterapkan oleh Belanda. Meskipun secara teoritis Jepang sudah berfikir untuk melakukan reformasi dan rehabilitasi terhadap terpidana. Jepang juga melakukan pendidikan bagi petugas-petugas kepenjaraan. Namun dalam kenyataannya perlakuan terhadap terpidana selama pedudukan Jepang justru merupakan memori buruk bagi bangsa Indonesia. Perlakuan yang tidak lebih sebagai eksploitasi atas manusia untuk kepentingan perang Jepang saat itu.

3. Pemidanaan Masa Indonesia Merdeka (1945-1963)
Pemidanaan pasca kemerdekaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode sebelum dan sesudah munculnya Pemasyarakatan sebagai model pemidanaan di Indonesia. Adapun momentum awal kebijakan kepenjaraan di Indonesia terjadi sekitar dua bulan setelah kemerdekaan, tepatnya saat dikeluarkannya Surat Edaran pertama dari Menteri Kehakiman RI pertama, Mr.Dr. Supomo, nomor G.8/588 tanggal 10 Oktober 1945. Edaran ini berisi penegasan bahwa semua penjara telah dikuasai oleh RI sehingga perintah-perintah terkait kepenjaraan harus berasal dari Menteri Kehakiman atau dari Mr. RP Notosusanto sebagai Kepala Bagian Urusan Penjara. Selain itu, edaran ini juga menekankan perbaikan dalam perlakuan terhadap terpidana, seperti; mengutamakan kesehatan terpidana khususnya kecukupan makanan, pemberian pekerjaan yang bermanfaat bagi perubahan perilaku terpidana, serta perlakuan yang harus manusiawi dan adil.

Pada 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa Reglemen Penjara 1917 masih dinyatakan berlaku, meskipun dilakukan sedikit perubahan dalam hal pengurusan dan pengawasan terhadap penjara-penjara. Tahun 1947, melalui surat edaran Nomor G.8/290 dinyatakan bahwa dalam proses pemindahan terpidana sedapat mungkin dilakukan tanpa harus berjalan kaki dan dibelenggu. Pada tahun yang sama melalui edaran nomor G.8/437 diinstruksikan agar dibentuknya bagian pendidikan dalam tata laksana kepenjaraan. Baik pendidikan untuk terpidana maupun untuk pegawai yang saat itu masih banyak yang buta huruf. Sementara itu, melalui edaran nomor G.8/1510 tahun 1948, Kepala Jawatan Kepenjaraan menginstruksikan agar dilakukan pemisahan yang ketat antara pelanggar hukum anak-anak dengan dewasa serta instruksi untuk menunjuk pegawai khusus untuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara. Pada periode 1946-1948 muncul pula kebijakan untuk melakukan diversi (langkah untuk menjauhkan pemrosesan perkara pidana secara formal) untuk kasus-kasus yang sebelumnya dipidana penjara, seperti mengemis. Pada periode ini pula ditetapkan pemberian remisi (pemotongan masa pidana) setiap tanggal 17 Agustus.

Langkah maju lainnya dalam kebijakan pemenjaraan pasca kemerdekaan Indonesia adalah munculnya edaran nomor J.H. 1.3/17/35 tahun 1952 tentang pedoman penempatan terpidana berdasarkan jenis kejahatan, lama pidana, status pendidikan, batas umur, jenis kelamin, status sosial, serta pemindahan terpidana dengan sisa pidana 3 (tiga) bulan ke penjara tempat asalnya agar dekat dengan keluarganya. Tahun 1952 juga merupakan tahun penyelenggaraan pertama kursus pengurus penjara. Sementara itu, tahun 1953 melalui edaran Kepala Jawatan nomor J.H. 3.18/4/33, dilakukan upaya memperoleh data-data tentang terpidana tertentu mengenai latar belakang perbuatannya, kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikannya, cara-cara perlakuan yang sesuai, dan lainnya. Pada tanggal 6 Februari 1956 muncul pula pernyataan bersama antara antara Kementrian Sosial, Jawatan Kepenjaraan, Jawatan Pendidikan Masyarakat, Jawatan Penempatan Tenaga, dan Kantor Pusat Jawatan Penerangan Agama, tentang nasib bekas terpidana. Salah satu kesepakatan yang diambil adalah tetap merahasiakan status bekas terpidana.

Masih pada tahun 1956, tepatnya tanggal 20-24 Juli, diselenggarakan Konferensi Dinas Kepenjaraan Kedua di Sarangan. Konferensi sebelumnya diselenggarakan di Nusakambangan pada November 1951. Dalam konferensi Sarangan ini mulai muncul pemikiran tentang tujuan dari pemidanaan, yaitu mengembalikan terpidana ke masyarakat sebagai seorang anggota yang berguna dan tidak melakukan lagi pelanggaran terhadap tata hukum masyarakat. Dalam hal ini dipahami pula bahwa dalam mewujudkan proses pemberantasan kejahatan yang dimulai dari saat penangkapan oleh polisi sampai dengan kembalinya pelanggar hukum ke tengah masyarakat diperlukan bantuan penuh dari masyarakat dan instansi lain yang bersangkutan. Pengaruh dari konferensi Sarangan ini adalah mulai diikutsertakannya terpidana tertentu dalam aktivitas-aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pada periode ini, tujuan pemidanaan secara konseptual disebut dengan resosialisasi. Dalam perkembangannya, pengaruh pemikiran-pemikiran dalam kriminologi pada tahun 1960-an menciptakan pergeseran dalam pandangan terhadap kejahatan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan kehidupan pelaku kejahatan. Sebelumnya, perhatian lebih banyak diberikan pada aspek individu pelaku kejahatan itu sendiri.

4. Munculnya Pemasyarakatan Hingga Kini
Konsep Pemasyarakatan di Indonesia diperkenalkan secara formal pertama kali oleh Sahardjo SH saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum kepada dirinya oleh Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Saat itu, beliau adalah Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Di dalam pidatonya, Sahardjo menjelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, (juga ditujukan untuk) membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Secara singkat tujuan ini disebutnya sebagai Pemasyarakatan. Dalam beberapa diskusi yang dilakukan setelah itu oleh Sahardjo dengan Bahrudin Suryobroto disepakati bahwa konsep pemasyarakatan ini berkembang lebih jauh dari apa yang telah dianut sebelumnya sebagai tujuan pemidanaan, yaitu resosialisasi. Dalam hal ini tidak lagi memandang terpidana sebagai semata-mata sebagai manusia yang tidak lengkap sosialisasinya.

Perumusan lebih jauh konsep Pemasyarakatan ini dilakukan melalui Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang, Bandung, tanggal 27 April hingga 7 Mei 1964. Di dalam konferensi ini, Bahrudin Suryobroto yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, lebih jauh menjelaskan bahwa Pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat, yang dapat dicapai melalui sebuah proses di mana terpidana turut serta secara aktif. Dalam hal inilah Pemasyarakatan berbeda dengan Resosialisasi yang lebih menekankan aspek individu terpidana bukan pada aspek integrasinya kembali dengan masyarakat.

Konsepsi Sahardjo tentang Pemasyarakatan yang juga dijelaskan lebih jauh oleh Bahrudin Suryobroto dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan tahun 1964 ini merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses, dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu masa penjajahan Belanda dan masa Indonesia merdeka 1945 hingga awal 1963. Pada masa sebelum diperkenalkannya konsep Pemasyarakatan, secara filosofis pemidanaan di Indonesia bertujuan untuk pembalasan, penjeraan, hingga resosialisasi. Pada masa penjajahan filosofi pemidanaan sangat terkait dengan kepentingan kontrol pemerintah kolonial terhadap pribumi. Sehingga upaya mencapai tujuan pembalasan dan penjeraan dari pemenjaraan justru dilakukan secara tidak manusiawi. Sementara pada periode Indonesia merdeka hingga sebelum diformalkannya konsep Pemasyarakatan (1945-1963) filososi resosialisasi lebih dominan.

Pasca Konferensi Dinas Kepenjaraan Nasional tahun 1964, sebagai bentuk komitmen pelaksanaan konsep Pemasyarakatan, Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, melalui Surat Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.6.8/506, menginstruksikan agar dilakukan penggantian nama kantor dan kesatuan dalam lingkungan direktorat dengan memakai Pemasyarakatan sebagai ganti dari Kepenjaraan. Semenjak tahun 1964 ini, sejumlah perubahan yang berpengaruh terjadi. Seperti pada periode 1975-1976 terselenggara sejumlah rapat kerja yang pada akhirnya berpengaruh terhadap munculnya manual-manual yang diperlukan dalam perlakuan terhadap terpidana berdasarkan konsepsi Pemasyarakatan. Beberapa manual yang berhasil disusun adalah; tentang Pembinaan Dalam Lembaga, Pembinaan Luar Lembaga, Manual Pembinaan Tuna Warga yang berisi model-model formulir dan register, serta manual tentang Pembinaan Sarana Sistem Pemasyarakatan. Pasca munculnya Pemasyarakatan, terjadi pula peningkatan hubungan dengan masyarakat dan dunia internasional dalam bentuk keikutsertaan pada kongres-kongres yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasca munculnya Pemasyarakatan pada tahun 1964 ini, diperlukan waktu lebih dari 30 tahun hingga Indonesia memiliki Undang-Undang khusus tentang Pemasyarakatan. Sebelum adanya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan pidana pemenjaraan di Indonesia masih menjadikan reglemen penjara sebagai “pedoman”. Hal ini di satu sisi tidak mengundang masalah karena secara prinsip (filosofis) telah ada komitmen besar untuk pemasyarakatan yang jauh berbeda dengan filosofi pemenjaraan. Namun di sisi lain, lamanya rentang waktu untuk dibuatnya UU khusus tentang Pemasyarakatan memperlihatkan lemahnya perhatian proses politik, di legislatif dan eksekutif.

Namun demikian, perkembangan Pemasyarakatan sebagai sistem telah didukung oleh sejumlah momentum parsial, seperti munculnya kebijakan struktural untuk pengkhususan penanganan narapidana anak. Sejak bulan November 1966, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawahi dua direktorat, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA). Hal ini menunjukkan bahwa dari awalnya Pemasyarakatan telah memiliki komitmen untuk membedakan perlakuan antara narapidana anak dengan dewasa. Komitmen ini bahkan berimplikasi pada aspek struktur organisasional. Hanya saja, pengalaman kekinian dari Pemasyarakatan memperlihatkan masih terbengkalainya upaya perlakuan khusus bagi narapidana anak. Meskipun sudah didirikan Lapas khusus anak, namun pada struktur Direktorat tidak ada unit khusus yang difungsikan untuk itu. Selama ini penanganan narapidana anak berada di bawah Direktorat Pembinaan Kemasyarakatan, namun tidak ada seksi khusus.

Perkembangan lainnya pasca munculnya Pemasyarakatan yang juga penting nilainya adalah difungsikanya unit-unit pelaksana teknis pemasyarakatan sebagai pelindung hak asasi manusia. Seiring dengan munculnya Pemasyarakatan tahun 1964, tugas besar yang ingin diemban adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Didin Sudirman (2007) menjelaskan tentang hal ini. Rumah Tahanan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan martabat tahanan. Demikian pula halnya dengan Lembaga Pemasyarakatan yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia, serta Balai Pemasyarakatan yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak yang berhadapan dengan hukum di muka pengadilan.

Satu unit lain yang penting peranannya adalah Rupbasan. Sejumlah peraturan memperjelas serta memperkuat peran yang dimainkan oleh Rupbasan dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah agar dapat dihindarinya penyalahgunaan barang bukti dan barang sitaan. Hal ini diupayakan melalui pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis dengan pejabat yang bertanggung jawab secara fisik atas barang-barang tersebut.

Selain mencatat sejumlah kemajuan, semenjak tahun 1980-an, Pemasyarakatan mulai berhadapan dengan masalah yang semakin kompleks. Baik masalah yang terkait dengan narapidana maupun masalah organisasional. Beberapa masalah yang cukup mendapatkan perhatian publik adalah semakin rendahnya kemampuan tampung lembaga pemasyarakatan, pelarian, kerusuhan, kekerasan, dan rendahnya kemampuan dalam memenuhi hak-hak narapidana. Menurut Dirdjosisworo (1984), pelaksanaan Pemasyarakatan di Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti; gedung atau bangunan penjara yang masih peninggalan Belanda, keterbatasan pemahaman sumber daya manusia, biaya, dan masyarakat yang masih belum dapat menerima kembali mantan narapidana. Pemasyarakatan secara filosofis tidak dapat diselenggarakan dengan setting kepenjaraan. Bila sistem pemidanaan masih bersifat pemberian derita yang tercermin dari bangunan penjara, cara perlakuan yang tidak manusiawi, serta penelantaran hak-hak narapidana, maka selama itu pula sistem pemidaan masih berbentuk kepenjaraan. Sebagaimana dijelaskan oleh Duff dan Garland (1994), untuk menguji filosofi penghukuman tidak dapat dilakukan saat masih di atas kertas, namun lebih jauh dari itu dilakukan saat direalisasikan dalam praktek.


B. Isu-Isu Utama dalam Sistem Pemasyarakatan

1. Deinstitusionalisasi
Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan criminal policy (kebijakan kriminal) yang menjadi salah satu bagian dari social management system (sistem manajemen sosial). Secara umum, manajemen sosial yang dilakukan melalui Sistem Pemasyarakatan ini dapat dibedakan menjadi kebijakan pemenjaraan dan kebijakan non pemenjaraan. Kebijakan non pemenjaraan, atau yang juga disebut dengan deinstitusionalisasi, merupakan salah satu isu utama dalam Sistem Pemasyarakatan dewasa ini, baik yang dilakukan oleh internal Sistem Pemasyarakatan maupun yang terkait dengan fungsi sub-sub sistem peradilan pidana lainnya. Deinstitusionalisasi penghukuman oleh sub-sub sistem peradilan pidana di luar Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk diskresi, diversi, keadilan restoratif, serta putusan hukuman percobaan atau kerja sosial oleh pengadilan. Sementara deinstitusionalisasi penghukuman oleh Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk pembebasan bersyarat hingga bentuk-bentuk penghukuman yang berbasis masyarakat seperti community based correction.

Filosofi reintegrasi sosial yang menjadi latar belakang munculnya Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya sangat menekankan aspek pengembalian narapidana ke masyarakat. Oleh karenanya, dalam perkembangan lebih jauh dari filosofi reintegrasi sosial tersebut muncul sejumlah sintesa yang sangat jelas memperlihatkan komitmen untuk melakukan deinstitusionalisasi penghukuman. Beberapa perkembangan yang dimaksud adalah munculnya community based correction, restorative justice, dan bentuk-bentuk pidana alternatif lainnya. Sangat jelasnya perkembangan filosofis reintegrasi sosial ini menuntut keterbukaan Pemasyarakatan untuk perubahan.

Perkembangan filosofi penghukuman ke arah deinstitusionalisasi ini pada prakteknya telah coba diadaptasikan ke dalam sistem hukum Indonesia meskipun masih sebatas rancangan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, selain menuntut keterbukaan Sistem Pemasyarakatan, yang jauh lebih penting adalah pemahaman bahwa ke depan tugas bagi Sistem Pemasyarakatan akan semakin berat. Rancangan KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) mempertegas pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan ke depan. Rancangan ini telah secara eksplisit menjelaskan bahwa pemasyarakatan merupakan tujuan pemidanaan di Indonesia.

Selain itu, rancangan KUHP juga mulai beradaptasi dengan upaya institusionalisasi penghukuman. Tentunya hal ini juga menuntut kesiapan dan peran aktif Sistem Pemasyarakatan ke depan sebagai pelaksana hukuman. Dalam Pasal 65 Rancangan KUHP dijelaskan, bahwa pidana pokok terdiri dari; pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Keberadaan pidana kerja sosial ini jelas merupakan langkah deinstitusionalisasi penghukuman. Pelaksanaannya sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Balai Pemasyarakatan. Oleh karenanya, Sistem Pemasyarakatan perlu melakukan penguatan kapasitas dari Bapas sebagai organisasi, terkait dengan perencanaan dan penganggarannya, serta penguatan kapasitas dari sumber daya manusianya.

Perkembangan lain, selain Rancangan KUHP, juga menegaskan pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan di masa datang, khususnya Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan. Dalam rancangan Undang-Undang Peradilan Pidana Anak (RUU PPA) telah disinggung upaya deinstitusionalisasi penghukuman, sekaligus menjadi tuntutan untuk penguatan fungsi-fungsi Lapas dan Bapas. Dua alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum menurut RUU PPA ini adalah diversi dan keadilan restoratif. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa atau hakim. Sementara keadilan restoratif adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan. Pentingnya memperkuat peran Lapas dan Bapas ini terkait dengan penegasan-penegasan eksplisit dalam RUU PPA ini tentang pentingnya penelitian kemasyarakatan (Pasal 37 RUU PPA) serta pembinaan dan pembimbingan anak (Bab XI RUU PPA).

Tanpa melihat perkembangan dalam rancangan dalam Rancangan KUHP maupun RUU PPA tersebut di atas pun pada dasarnya sejumlah kebijakan dalam Sistem Pemasyarakatan telah mengarah ke deinstitusionalisasi tersebut. Seperti diberikannya Pembebasan Bersyarat dan Cuti. Hanya saja dalam praktek kebijakan ini belum dapat diterima oleh sebagian besar narapidana. Selain karena sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, belum maksimalnya implementasi PB dan cuti ini juga sangat terkait dengan masih rendahnya kapasitas dari Bapas. Masih minimnya kebijakan deinstitusionalisasi ini, meskipun memungkinkan, juga terkait dengan masih tingginya sentimen penghukuman pada sub SPP lainnya. Oleh karenanya, diperlukan koordinasi filosofis serta koordinasi manajemen (organisasi) antara lembaga-lembaga yang tergabung dalam SPP tersebut.

Terkait dengan dorongan ke arah deinstitusionalisasi penghukuman dalam Sistem Pemasyarakatan, telah berkembang beberapa model yang pula dapat dikembangkan di Indonesia. Bagian berikut ini akan menjelaskan dua model dominan dan terkait erat dengan filosofi Reintegrasi Sosial dari Sistem Pemasyarakatan.

Community Based Correction
CBC dalam konteks kajian pencegahan kejahatan berasal dari strategi pencegahan dengan pendekatan masalah-masalah sosial yang dalam prakteknya lebih menekankan pada sumber daya masyarakat, selain pula perlunya dukungan dari pemerintah dan kalangan bisnis pada tingkat lokal. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP), keterbatasan kemampuan dari sub-sub sistem Peradilan Pidana dalam penegakan hukum dan pencegahan kejahatan, seperti biaya pemenjaraan yang semakin besar akibat over crowding, merupakan latar belakang utama mengapa diperlukannya keterlibatan masyarakat secara lebih luas. Secara umum CBC sangat berpotensi membangun pemahaman masyarakat tentang tanggung jawab serta peran yang harus dimainkannya dalam pencegahan kejahatan secara aktif. Menurut Snarr (1996), Community Based Correction (CBC) berkembang pada paruh terakhir abad ke-20, khususnya mulai tahun 1967. Tulang punggung pelaksanaan CBC di awal perkembangannya adalah probation (pidana bersyarat) dan parole (pembebasan bersyarat). Secara umum, tema sentral dari CBC ini adalah penyediaan pelayanan (pembinaan terhadap narapidana) dengan keterlibatan masyarakat. Tentang keterkaitan erat antara konsep Reintegrasi Sosial dengan CBC ini, Snarr menegaskan, bahwa (upaya) reintegrasi mengharuskan keterlibatan atau partisipasi dalam institusi-institusi komunitas. Dalam hal ini, reintegrasi berangkat dari premis yang mengatakan, bahwa jika seseorang mampu untuk terlibat dalam institusi-institusi sosial utama serta dalam setiap aktivitas masyarakat akan meningkatkan peluang bagi munculnya perilaku taat hukum. Di lain pihak, secara ringkas Snarr menjelaskan CBC adalah setiap aktivitas yang melibatkan komunitas (masyarakat) untuk tujuan mengintegrasikan kembali terpidana dapat disebut sebagai upaya CBC. Meskipun dalam hal ini Snarr menegaskan tidak secara otomatis setiap keterlibatan fasilitas lokal dalam hal pemidanaan dapat selalu dikategorikan sebagai CBC, bila fasilitas lokal tersebut hanya difungsikan sebagai tempat penahanan.

Mengacu pada Snarr (1996), ada beberapa alasan munculnya Community Based Correction sebagai alternatif dari pemenjaraan. Pertama, ketidakpuasan terhadap kondisi penjara, seperti overcrowding, dana yang tidak cukup, extreme idleness (ketiadaan kegiatan atau pekerjaan yang membuat narapidana terbengkalai), kurangnya program-program yang bermanfaat, hingga ketidakamanan di dalam penjara. Satu kondisi lain yang merupakan dampak dari kondisi-kondisi sebelumnya terjadinya prisonisasi, yaitu proses pembelajaran kejahatan antar narapidana selama berada dalam penjara. Kedua, alasan kemanusiaan, di mana hal ini adalah sesuatu yang sulit untuk dijamin bila seseorang berada di dalam penjara. Ketiga, efektivitas pembiayaan yang sulit sekali dicapai dalam pemenjaraan tradisional. Dalam pelaksanaan Community Based Correction, seorang terpidana akan berada di masyarakat dan melakukan kegiatan seperti anggota masyarakat biasa lainnya. Dengan bekerja diharapkan narapidana mampu memperoleh pendapatan, yang sekaligus akan mengurangi beban yang seharusnya ditanggung dalam pelaksanaan pidana terhadap dirinya. Keempat, terciptanya administrasi keadilan yang lebih baik. Community Based Correction menawarkan peluang bagi kerjasama yang lebih besar antara kepolisian, pengadilan dan lembaga koreksi (pemasyarakatan) pada tingkat lokal. Kelima, adalah posisinya CBC sebagai intermediate sanctions. Munculnya CBC pada dasarnya dapat menjadi pidana pengganti dalam menanggulangi biaya operasional dari pemenjaraan.

Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan CBC ini sangat bergantung pada beberapa aspek. Mengacu pada McCarthy, et.al. (2001) ada sejumah syarat dalam tercapainya tujuan yang diharapkan oleh CBC ini, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama, lokasi yang di dalamnya terdapat interaksi dengan meaningful community, yaitu sebuah lingkungan yang menawarkan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan para pelaku kejahatan. Efektivitas pelaksanaan CBC sangat memerlukan penerimaan dari masyarakat karena tujuan akhirnya adalah integrasi. Syarat lokasi ini idealnya dilakukan pada tempat di mana terpidana berasal, atau melakukan kejahatan. Namun dalam hal-hal tertentu muncul penolakan dari masyarakat sehingga tujuan integrasi yang diharapkan sulit tercapai. Kedua, terkait dengan syarat pertama, yaitu diperlukannya lingkungan yang memiliki batasan fisik yang minimum, namun pelaku kejahatan tinggal dengan seseorang yang bertanggung jawab dengan pengawasan yang minimal. Ketiga, adanya program pendidikan, pelatihan, konseling, dan layanan-layanan dukungan lainnya yang berbasis pada komunitas. Dalam hal ini disediakan oleh non lembaga koreksi dan lembaga swasta. Jikapun ada keterlibatan petugas lembaga koreksi maka diorganisir dalam jejaring penyedia layanan yang komprehensif. Keempat, diciptakannya kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk mengasumsikan dengan faktor usia. Dalam praktekknya, CBC sangat mengharapkan keterlibatan aktif pesertanya dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti bekerja. Sehingga untuk memungkinkan hal ini terjadi, maka narapidana yang mengikuti program ini sebaiknya adalah mereka yang masih berada pada usia produktif (usia 17-60 tahun). Ketiga, aspek gender. Program CBC akan efektif bila dilakukan terhadap narapidana dengan jenis kelamin yang sama. Keempat, lamanya durasi program. Secara ideal CBC diikuti oleh mereka yang masa pidananya paling sedikit enam bulan sampai satu tahun. Kelima, karakteristik dari narapidana. Dalam praktek, CBC tidak menerapkan pengawasan yang sangat ketat, sehingga untuk narapidana tertentu dengan kecenderungan berbahaya dan emosional akan mengganggu pelaksanaan program. Demikian pula dengan narapidana yang memiliki keterbatasan fisik karena ada pekerjaan-pekerjan yang harus dilakukan, serta narapidana yang memiliki kebiasaan penyimpangan seksual. Keenam, pengawasan terhadap narapidana yang memiliki ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang dan alkohol, serta ditempatkan pada lingkungan yang khusus.

Berdasarkan pengalaman beberapa negara, program-program CBC yang pernah dipraktekkan adalah (lihat Rosyitawati, 2006), Boot Camp, yaitu kamp hunian dengan kapasitas 50 orang dan menjalankan program-program bagi narapidana yang telah disiapkan menjalani rehabilitasi. Boot Camp diterapkan justru bergaya militer dengan disiplin yang ketat serta dengan berbagai kegiatan-kegiatan fisik. Lain lagi dengan Halfway House, semacam rumah singgah untuk narapidana, baik yang tengah menjalani pidana penjara dalam pelaksanaan parole (bebas bersyarat) maupun bagi pidana alternatif (deinstitusionalisasi) bagi narapidana yang diberikan probation (hukuman bersyarat), khususnya untuk masa pidana selama dua atau tiga bulan. Bentuk lainnya adalah furlough, sebagai pemberian keleluasaan bagi narapidana untuk pergi bekerja atau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di masyarakat  secara lebih bebas selama hampir 10 jam. Larangan bepergian hanya dilakukan pada malam hari.

Dalam penelitiannya tentang penerapan CBC di Indonesia,  Rosyitawati (2006) menjelaskan bahwa selain asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga (CMK) dan pembebasan bersyarat (PB) bentuk lainnya dari pelaksanaan CBC di Indonesia adalah pelaksanaan pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Pada dasarnya, keberadaan lapas terbuka ini merupakan bentuk ideal dari Pemasyarakatan yang sangat menekankan aspek integrasi yang terjadi antara narapidana dengan masyarakat. Meskipun bila diukur dengan sejumlah indikator keberhasilan CBC, lapas terbuka belum mampu menjalankan proses idealnya. Beberapa kendala yang membuat Lapas Terbuka belum mampu menerapkan prinsip CBC ini menurut Rosyitawati adalah rendahnya kemampuan sumber daya manusia, masih kurangnya peran pemerintah dalam bentuk anggaran, serta dukungan masyarakat secara keseluruhan.

Restorative Justice
Perkembangan lainnya dari filosofi reintegrasi sosial, sekaligus upaya deinstitusionalisasi pemidanaan ini adalah restorative justice. Secara sederhana restorative justice adalah upaya penyelesaian informal atau di luar peradilan pidana secara bersama-sama dalam kasus pelanggaran hukum dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur penegak hukum. Menurut Tony Marshall (1999), restorative justice adalah seperangkat prinsip yang mendefinisikan restorative justice sebagai pendekatan penyelesaian masalah kejahatan yang melibatkan pihak-pihak yang terkait (pelaku dan korban), komunitas umumnya, serta (melalui) hubungan yang aktif dengan pihak-pihak (penegak hukum) yang berwenang. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dari restorative justice adalah (Marshall, 1999):
a.       Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka yang memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga keluarga mereka dan komunitas secara keseluruhan).
b.      Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
c.       Merupakan upaya penyelesaian masalah kejahatan yang melihat ke depan (preventif)
d.      Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas)

Dalam sejarah perkembangannya, restorative justice tidak lepas dari aspek sosio-kultural dari masyarakat timur yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural tersebut adalah praktek penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme penyelesaian restorative justice ini memiliki potensi besar untuk dilaksanakan untuk kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat.
           


2. Masalah Makro Struktural
Kejelasan posisi Sistem Pemasyarakatan sebagai upaya reintegrasi narapidana dengan masyarakatnya di satu sisi sangat menjanjikan bagi terciptanya politik pemidanaan yang sangat maju. Namun di sisi lain terus berlarutnya permasalahan dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia saat ini memberikan indikasi masih jauhnya Pemasyarakatan dari pencapaian seharusnya. Sejumlah penelitian memperlihatkan adanya beberapa masalah yang sangat berpengaruh terhadap Sistem Pemasyarakatan Indonesia selama ini. Masalah-masalah tersebut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, masalah organisasional yang dalam banyak kasus cenderung menghambat tujuan pemasyarakatan. Isu utama terkait organisasional ini adalah diskursus tentang format kelembagaan yang lebih terdesentralisasi, serta proses kebijakan antara top down policy process atau bottom up policy process. Kedua, masalah teknis pemasyarakatan yang secara umum menyangkut proses pembimbingan oleh Bapas, Perawatan oleh Rutan, Pembinaan oleh Lapas, dan pengelolaan oleh Rupbasan. Beberapa isu yang terkait dengan proses pembinaan ini adalah tidak berkembangnya metode pembinaan dan rendahnya kemampuan pemasyarakatan untuk memenuhi hak-hak narapidana. Ketiga, masalah pengawasan dan partisipasi. Dalam hal ini, mekanisme internal di Departemen Hukum dan HAM belum cukup efektif dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pemasyarakatan sehingga sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi tidak terselesaikan dengan baik. Selain itu, kelemahan internal ini justru tidak secara otomatis membuat departemen membuka diri terhadap pengawasan eksternal.

Masih dalam kerangka ini, Sistem Pemasyarakatan juga belum mendapatkan dukungan (support) berupa partisipasi pihak ketiga, baik dari unsur pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan. Dengan semakin pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan ke depan, terkait dengan rencana pembangunan hukum dalam RKHUP yang semakin memperjelas tujuan penghukuman dan keberadaan hukuman alternatif, dukungan bagi Sistem Pemasyarakatan dari pihak ketiga sangat diperlukan. Terlebih bila dihadapkan dengan kompleksitas permasalahan yang tengah dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan sekarang ini, seperti dalam manajemen organisasi, proses perencanaan dan penganggaran, teknis pemasyarakatan dan lainnya.

Secara teoritis, masalah makro struktural tersebut dapat dikategorisasi menjadi tiga bagian besar, yaitu masalah otonomi, masalah teknologi, dan masalah kontrol sosial. Masalah otonomi (problem of autonomy) adalah masalah yang muncul karena kurangnya otonomi dari Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah organisasi. Di Indonesia, kewenangan unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan juga Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara struktural cenderung terbatas hanya pada kewenangan teknis. Kebijakan-kebijakan fasilitatif dan pengembangan sumber daya berada di Departemen, khususnya pada Sekretariat Jenderal. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kurang memiliki kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran sendiri, meskipun dapat dianggap bahwa Direktorat adalah stakeholder yang paling berkepentingan dengan berjalannya tugas pokok dan fungsi UPT-UPT dengan baik.

Masalah teknologi (problem of technology) adalah masalah yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi “core bussiness” dari pemasyarakatan, mulai dari pembimbingan, perawatan, pengelolaan dan pembinaan. Masalah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan ini sangat terkait dengan masalah otonomi. Belum terdesentralisasinya kewenangan perencanaan dan penganggaran di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebabkan UPT-UPT Pemasyarakatan berhadapan dengan masalah kurangnya sumber daya dana, manusia, dan aspek-aspek fasilitatif lainnya.

Ketiga masalah tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan kondisi internal Pemasyarakatan itu sendiri. Seperti kultur Rutan dan Lapas, serta etos kerja dan kapasitas petugas. Inilah mengapa berbagai masalah di UPT, serta penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan, seperti kekerasan antar narapidana, antara petugas dengan narapidana, kerusuhan, pelanggaran hak dasar manusia, homoseksualitas, residivisme, tidak dapat semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang dilatarbelakangi oleh motivasi petugas atau warga binaan itu sendiri. Selain itu, ketiganya juga sangat terkait dengan seberapa besar pemahaman serta dukungan yang diberikan oleh sub-sub SPP lainnya.

Sedangkan masalah kontrol sosial (problem of social control) terkait dengan belum efektifnya pengawasan internal di lingkup Departemen dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, serta belum terbukanya keterlibatan unsur masyarakat sipil dalam pengawasan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan itu.           

3. Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Pemasyarakatan di Depan, Tengah dan Penghujung SPP
Bila mengikuti apa yang selama ini dipahami tentang sistem peradilan pidana, maka posisi sistem pemasyarakatan hanya berada di penghujung sistem. Dengan kata lain, Pemasyarakatan hanyalah tempat menahan terpidana setelah diproses secara hukum oleh polisi, jaksa, dan pengadilan. Permasalahannya, posisi pemasyarakatan sebagai penghujung SPP ini juga ditegaskan oleh UU Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995.

Dalam kenyataannya, pemasyarakatan tidaklah sistem yang berperan hanya di penghujung SPP. Sebagaimana telah dijelaskan, Rutan dan Bapas berperan jauh sebelum seseorang diputus menjadi terpidana oleh pengadilan. Sehingga kenyataan ini mengharuskan masyarakat, khususnya sub-sub sistem peradilan pidana lainnya, mengubah anggapan yang selama ini dominan. Bila pula dikaitkan dengan rencana pembangunan hukum nasional, sebagaimana diperlihatkan oleh Rancangan KUHP, maka posisi Sistem Pemasyarakatan semakin jelas tidak hanya sebagai penghujung SPP, namun juga di awal dan di tengah proses peradilan pidana. Pada aspek filosofis, Rancangan KUHP justru menjelaskan Pemasyarakatan adalah tujuan penghukuman yang harus diinternalisasi oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga Pengadilan.
           
Optimalisasi Kewenangan Sub Sistem Peradilan Pidana
Sejumlah masalah yang muncul dalam sistem pemasyarakatan dewasa ini, khususnya masalah overcrowded sangat terkait dengan peran yang seharusnya dapat dimainkan oleh sub sistem peradilan pidana lainnya. Kenyataan sekarang ini memperlihatkan adanya kecenderungan sub sistem peradilan pidana lainnya untuk menahan dan memenjarakan sebanyak mungkin orang. Hal ini dibuktikan dengan masih minimnya keinginan polisi, jaksa, dan hakim menggunakan kewenangan yang mereka miliki secara informal untuk mengalihkan seseorang dari penahanan atau pemenjaraan.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan filosofi sekarang ini lebih mengarah pada deinstitusionalisasi penghukuman. Rencana pembangunan hukum di Indonesia pun mempertegas kecenderungan ini dalam Rancangan KUHP. Pelaksanaannya tentu saja menuntut pemahaman yang sama serta dukungan dari sub sistem peradilan pidana lainnya. Seperti pelaksanaan restorative justice yang membutuhkan pengertian dari polisi.

Model-Model Sinkronisasi Kerja
Pada tingkat makro, sinkronisasi kerja antar sistem peradilan pidana memerlukan perubahan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan pada UU Nomor 12 Tahun 1995, serta diformulasinya Undang-Undang khusus yang mengatur sinkronisasi kerja sub-sub sistem peradilan pidana agar Integrated Criminal Justice System benar-benar dapat diwujudkan. Beberapa prinsip yang harus didukung dalam hal ini adalah:
  1. Secara eksplisit memposisikan Pemasyarakatan tidak hanya sebagai penghujung sistem peradilan pidana. Namun juga berada dalam proses pra-ajudikasi dan ajudikasi.
  2. Secara eksplisit mengharuskan sub-sub sistem peradilan pidana lainnya melakukan sinkronisasi dengan tujuan-tujuan pemasyarakatan. Hal ini juga mengingat kecenderungan di RKUHP. Tujuan pemidanaan adalah integrasi kembali terpidana dengan masyarakat, sehingga model-model perlakuan yang berbasis masyarakat perlu diprioritaskan. Salah satu bentuk sinkronisasi kerja adalah dengan mengupayakan diversi (pengalihan) dari pemenjaraan melalui kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing sub sistem peradilan pidana. Setidaknya diprioritaskan untuk first offender untuk kejahatan yang ringan dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
  3. Dalam jangka pendek, sinkronisasi kerja ini dapat diwujudan melalui kesepahaman tertulis (Memmorandum of Understanding).

4. Isu Perempuan dalam Sistem Pemasyarakatan
Membahas Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem sering terjebak dalam pola pikir yang lebih berorientasi pada kebutuhan narapidana laki-laki dewasa sebagai mayoritas dari keseluruhan populasi narapidana di Indonesia. Sebagai akibat dari itu, isu-isu yang spesifik tentang perempuan di dalam pemasyarakatan sering tidak mendapatkan perhatian yang cukup dan tercermin pula dalam setiap kebijakan. Kekurangpekaan terhadap aspek gender dalam sistem peradilan pidana umumnya, secara sosiologis sangat terkait dengan kultur sebuah masyarakat yang lebih melihat laki-laki memiliki peran yang lebih penting bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini kemudian akan terlihat dalam kebijakan-kebijakan negara dalam konteks yang lebih luas.

Terkait dengan umumnya kecenderungan patriarkis dalam kultur masyarakat, dunia internasional membuat konsensus berupa sejumlah instrumentasi internasional yang memberikan perlindungan terhadap diskriminasi gender, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW), Declaration on the Elimination of Violence against Women, General Recommendation No.19 on Violence against Women, dan banyak lainnya. Terkait dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan), maka kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan harus mulai mempertimbangkan spesifik gender.

Kenyataannya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya pemidanaan (dalam hal ini Pemasyarakatan) belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional tersebut. Dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, hal yang spesifik gender baru terbatas pada pembedaan tempat dalam proses pembinaan terhadap narapidana wanita, yaitu di Lapas khusus wanita. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas gender baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan narapidana khusus perempuan. Secara prinsipil yang seharusnya dilakukan adalah menjadikan aspek spesifik gender sebagai dasar pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dalam pemasyarakatan. Baik tercermin pada manajemen (struktur) organisasi, proses perencanaan dan penganggaran, pengembangan sumber daya manusia Sistem Pemasyarakatan, teknis Pemasyarakatan, serta dalam aspek pengawasan dan partisipasi. Tujuan akhirnya adalah dihasilkannya kebijakan-kebijakan Sistem Pemasyarakatan khusus perempuan yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan pemasyarakatan terhadap narapidana laki-laki dewasa. Selama ini proses pembinaan untuk perempuan cenderung tidak memiliki perbedaan spesifik dan terukur dengan laki-laki dewasa. Hal utama yang diperlukan adalah sebuah kebijakan khusus yang komprehensif dan tidak bersifat parsial. Seperti dibuatnya aturan-aturan khusus tentang pola pembinaan untuk perempuan, juga dalam proses penganggaran.

Tentang pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik yang sesuai dengan kebutuhan perempuan perlu dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bersama dengan stakeholder terkait yang memiliki perhatian pada masalah perempuan. Namun demikian secara umum pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik perempuan ini akan didasari oleh prinsip perlindungan dan pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan; seperti penekanan pelayanan psikologis dan kesehatan. Serta yang jauh lebih penting adalah optimalisasi deinstitusionalisasi penghukuman, khususnya untuk perempuan yang memiliki tanggungan anak.

Instrumen internasional khusus untuk pemenjaraan dan penahanan; Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1955), dalam aspek tertentu telah memberikan pedoman tentang hal ini. Pada bagian I, aturan nomor 23 dari SMR sebagai contoh menjelaskan, (1) dalam lembaga pemasyarakatan perempuan harus ada akomodasi untuk semua perawatan dan pengobatan yang diperlukan sebelum dan sesudah melahirkan. Harus dibuat perencanaan bilamana dapat dilakukan agar seorang anak lahir dalam penjara maka fakta ini tidak boleh disebutkan dalam akte kelahiran. (2) Bilamana bayi-bayi yang sedang menyusui dibolehkan tinggal di lembaga yang disiapkan, harus dipersiapkan suatu tempat penitipan yang dilengkapi dengan petugas yang berkualitas, di mana bayi-bayi ditempatkan ketika mereka tidak dalam penjagaan ibu mereka.

Bloom et.al. (2002) menjelaskan banyak penanganan terhadap perempuan di dalam sistem peradilan pidana tidak memiliki kebijakan resmi dan tertulis tentang manajemen dan pengawasan khusus bagi para pelanggar hukum perempuan tersebut. Bilapun ada, aturan yang digunakan adalah aturan yang awalnya dirancang untuk mengatur dan mengawasi warga binaan laki-laki. Lebih jauh Bloom, et.al. menegasan bahwa strategi-strategi kebijakan pemidanaan yang responsif dan sensitif gender adalah yang mampu menciptakan lingkungan dan pemahaman yang menyesuaikan dengan realitas kehidupan perempuan serta yang secara langsung menanggapi isu-isu perempuan.

Beberapa masalah yang dominan muncul dalam proses pemasyarakatan narapidana perempuan terkait dengan kondisi psikologis narapidana serta kenyataan bahwa selama ini substansi pembinaan lebih menekankan pada pembinaan yang bersifat “kewanitaan”. Masalah psikologis berupa kecemasan hingga depresi yang dialami narapidana perempuan cenderung belum tertangani dengan baik, padahal tekanan ini sangat terkait dengan tekanan struktur sosial dan budaya dominan (patriarki). Selain itu beberapa narapidana perempuan juga berhadapan dengan masalah belum maksimalnya jaminan hak bagi mereka untuk merawat dan mengasuh anak yang masih berusia di bawah 2 tahun di dalam Lapas. Selain terbatasnya kamar, ini juga terjadi karena kondisi lingkungan yang belum terjamin secara kesehatan. Selain itu, kondisi Lapas yang tertutup membuat anak-anak turut ‘terpenjara’ bersama. Tekanan psikologis lainnya yang umum diderita narapidana perempuan adalah keputusan cerai dari suami akibat stigma terhadap dirinya yang berstatus terpidana. Hal ini juga berujung pada tidak jelasnya nasib anak.

Pada dasarnya munculnya permasalahan narapidana perempuan yang terkait dengan kebijakan Sistem Pemasyarakatan ini sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan seberapa besar perhatian serta prioritas yang diberikan oleh pemerintah, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Keterbatasan anggaran membuat pihak Lapas sebagai UPT tidak dapat memberikan kebutuhan serta fasilitas khusus bagi perempuan. Strategi kebijakan bagi Lapas laki-laki dewasa, yang lebih menekankan aspek keamanan, menjadi acuan yang sama bagi Lapas Wanita. Salah satu bentuk implementasinya adalah ditutupnya Blok dan kamar dalam jangka waktu yang cukup lama setiap harinya. Selain mengabaikan kenyataan bahwa tingkat pelarian Warga di Lapas Wanita sangat kecil, kebijakan ini juga merugikan para Warga Binaan yang ingin agar anak-anaknya bisa menghirup udara di luar kamar lebih lama. Marjinalnya isu perempuan dan anak ini juga tergambar dari proses perencanaan dan penganggaran. Salah satu contoh dalam hal ini adalah tidak terdapatnya anggaran khusus bagi perawatan kesehatan reproduksi, belum dipenuhinya kebutuhan obat-obatan hormonal, serta dalam tindakan medis darurat.

Jauh sebelumnya, pemerintah khususnya aparatur penegak hukum seharusnya bisa memahami apa yang oleh Steffensmeier dan Allan (1996) disebut sebagai konteks sosial dan struktur masyarakat yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan. Banyak di antara kejahatan yang dilakukan oleh perempuan adalah sebuah pilihan yang sulit di tengah keputusasaan. Oleh karenanya, proses pemasyarakatan bagi perempuan jelas harus berbeda dengan yang dominan diterapkan pada narapidana laki-laki dewasa.

Kenyataan budaya di Indonesia yang menempatkan beban pengasuhan dan perawatan keluarga pada perempuan juga perlu dipertimbangkan dengan baik. Strategi kebijakan yang menekankan pada aspek keamanan telah mengurangi hak Warga Binaan perempuan untuk mendapatkan Cuti Mengunjungi Keluarga karena adanya kenyataan angka kembali setelah cuti diberikan yang rendah. Kenyataan ini tidak dapat dipahami secara sempit. Beban perawatan keluargalah yang menyebabkan Warga Binaan tidak kembali setelah mendapat CMK karena sekaligus menjadi beban psikologis bagi yang bersangkutan. Oleh karenanya upaya antisipatifnya adalah membuka ruang komunikasi yang lebih baik dengan keluarganya.

Selain permasalahan ketika di dalam lembaga, permasalahan spesifik narapidana perempuan juga berlanjut hingga masa bebas. Penelitian Christine Wilkinson (2004) menyimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan perempuan akan tempat tinggal, mendapatkan nafkah dan dengan demikian juga memperoleh pekerjaan, pendidikan keterampilan yang menunjang untuk dapat memperoleh pekerjaan seharusnya dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum ia bebas dari penjara. Chesney-Lind dan Pasko (2004) juga senada. Keduanya menawarkan strategi-strategi dan program-program berbasis masyarakat sebagai upaya menurunkan jumlah perempuan di penjara dan sebagai upaya pencegahan residivisme.

Pada akhirnya, bila mengacu pada Studi Allegritti (2000) ada sejumlah prinsip dari program-program yang dianggap sensitif dan responsif gender, yaitu:
1.      Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman isu-isu perempuan dan kebutuhan perempuan yang kompleks dan yang mengerti bagaimana mengimplementasikan pelayanan yang sensitif gender secara praktis.
2.      Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas perawatan dan perkembangan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi di dalam proses pembuatan keputusan
3.      Menggunakan pendekatan holistik, dengan memahami berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi.
4.      Mengakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran gender yang dikonstruksi secara sosial dapat memojokkan posisi perempuan
5.      Menjamin bahwa fokusnya adalah mengembangkan dan mengimplementasikan layanan yang tepat dan memenuhi kebutuhan perempuan, dan bukannya memaksakan agar perempuan ‘cocok’ dengan layanan yang sudah ada sebelumnya yang hanya memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang didominasi laki-laki.

5. Anak dalam Sistem Pemasyarakatan
Selain isu perempuan, isu lainnya yang juga belum mendapatkan perhatian yang cukup dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia adalah pola perawatan, pembimbingan, dan pembinaan terhadap anak didik Pemasyarakatan (narapidana anak). Sama halnya dengan perlunya model pembinaan khusus yang seharusnya diberikan kepada narapidana perempuan, untuk narapidana anak juga perlu dirumuskan satu kebijakan khusus yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan mereka sebagai anak. Kebutuhan ini pada tingkat internasional juga didorong oleh sejumlah instrumen internasional. Di antara instrumen internasional khusus yang harus mendasari proses pembinaan untuk anak adalah Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Dalam konteks Sistem Pemasyarakatan, Konvensi Hak Anak ini secara umum menekankan, bahwa anak-anak berhak mendapatkan segala perlakuan khusus bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya tanpa kecuali. Prinsip-prinsip penting dalam konvensi ini adalah;
a.      Negara berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana.
b.      Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan.
           
Mengacu pada Yablonski (2000), salah satu masalah umum yang selalu dihadapi oleh narapidana anak adalah pendidikan. Yablonski menyimpulkan bahwa program sekolah yang efektif dapat menjadi suatu solusi pencegahan residivisme anak-anak. Di Indonesia hak anak untuk pendidikan di dalam lapas masih terkendala. Beberapa faktor yang menyebabkan adalah kualitas dari tenaga pengajar, karena umumnya mereka bukan guru namun petugas lapas. Dengan kondisi demikian maka kualitas pendidikan di Lapas sangat jauh berbeda dengan pendidikan di sekolah umum, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas kemampuan lulusannya. Oleh karenanya sangat dibutuhkan fasilitasi yang sama dalam bidang pendidikan ini dengan yang diperoleh oleh anak-anak di luar lembaga pemasyarakatan. Selain karena kualitas SDM petugas pemasyarakatan, masih rendahnya kemampuan pemenuhan hak pendidikan juga disebabkan oleh tidak adanya dana penunjang khusus. Mata anggaran untuk lapas anak sama dengan struktur anggaran lapas lainnya dengan tidak tersedianya secara khusus dana untuk pendidikan.

Rosenheim (2002) menjelaskan juvenile justice system merupakan seperangkat lembaga yang membuat keputusan yang berkelanjutan dan saling berhubungan tentang intervensi negara terhadap kehidupan anak-anak. Juvenile justice system mengacu pada polisi, pengadilan anak, petugas yang menerima mereka masuk ke dalam sistem dan petugas probation, kejaksaan, lembaga penahanan anak, fasilitas koreksional dan agen-agen sosial yang mengurus penempatan anak sesuai dengan perintah pengadilan anak. Kelompok-kelompok ini tidak selalu bekerja sama dengan baik atau dengan nilai-nilai yang sama. Beban kerja mereka berbeda-beda, demikian pula sudut pandang dan kualifikasi profesional mereka. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keharmonisan kerja sama kelompok-kelompok ini. Kondisi ini juga terjadi di sistem peradilan yang menangani anak di Indonesia.

Selain SDM, minimnya dana, dan lemahnya koordinasi antar sub sistem peradilan pidana, masalah lain yang dihadapi lapas anak adalah beban kerja lapas itu sendiri yang sangat luas. Selain menyelenggarakan pendidikan, memberikan keterampilan, juga ”menjaga” keamanan. Hal ini tentu saja memunculkan banyak persoalan teknis. Pelayanan kesehatan-pun dalam hal ini tidak maksimal. Padahal telah ada sejumlah peluang dalam bentuk kesepakatan bersama dengan lembaga pemerintah terkait, namun tidak maksimal. Pengalaman Indonesia memperlihatkan untuk mengantisipasi masalah ini sangat tergantung pada figur dari kepala lapas.

Bila dilihat dari aspek legal framework, persoalan di lapas anak ini berujung pada belum adanya aturan spesifik tentang pola pembinaan khusus anak. Ini pada akhirnya berakibat pada munculnya ketidakjelasan, mulai dari tingkat lembaga hingga SDM tentang bagaimana pembinaan terhadap Anak Didik seharusnya dilakukan. Ketiadaan metode pembinaan khusus bagi anak, membuat petugas melakukan pembinaan terhadap anak dengan “cara atau pengalaman pribadi masing-masing.” Antara lain dengan menempatkan diri sebagai orang tua atau sebagai kakak sehingga pola pembinaan identik dengan memberikan nasehat-nasehat pada anak dan tentu saja membosankan anak. Muncie (1999) menjelaskan bahwa penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum senantiasa diwarnai dengan kebingungan, ambiguitas dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga. Inilah yang menjadi dasar mengapa perlu penanganan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diperlukan adanya kesadaran bahwa anak-anak membutuhkan respon yang tidak sama dengan respon terhadap orang dewasa yang melanggar hukum.

Ada beberapa cara pandang dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (Sienna dan Siegel 2001). Berdasarkan filosofi rehabilitation negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya. Karena setiap anak dianggap memiliki kapasitas untuk belajar dan terutama belajar mengubah tingkah lakunya, maka sesuai filosofi ini, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan melalui upaya-upaya demi kepentingan terbaik anak. Anak-anak lebih dipandang sebagai korban keadaan dan lingkungan daripada sebagai pelaku. Rehabilitasi dengan demikian bertujuan untuk mendukung dan memberikan penanganan dalam lingkup individu (Snarr, 1996), dan struktur peradilan yang dijalankan pun lebih bersifat informal dan tertutup.

Sementara intervensi berbasis kesejahteraan dirancang untuk membantu anak-anak yang bermasalah dan menjamin rehabilitasi dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat umum; intervensi berbasis keadilan dirancang untuk memberikan hak yang sama kepada anak dengan hak yang diberikan kepada orang dewasa; intervensi diversi dirancang untuk mencegah anak-anak melakukan pelanggaran dan menjaga agar anak-anak tidak masuk ke dalam pengadilan atau lembaga-lembaga koreksi/custody.

Menurut Trojanowicz dan Morash (1992), sudut pandang lainnya dalam menangani anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan adalah sudut pandang kesejahteraan. Beberapa prinsip dalam sudut pandang kesejahteraan ini adalah; pertama, memandang perilaku kenakalan anak sebagai hasil dari satu atau lebih faktor yang dapat diidentifikasi. Kedua, identifikasi dapat dilakukan melalui observasi dan analisis terhadap anak dan lingkungannya. Ketiga, perilaku anak sangat terkait dengan perubahan internal dalam diri anak dan perubahan lingkungan eksternal atau kombinasi keduanya.

Perkembangan lainnya dalam penanganan anak adalah pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan ini lebih pada upaya memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat adanya suatu pelanggaran, melalui upaya-upaya mediasi dan bentuk-bentuk community service atau kerja sosial (Walgrave, 1996). Selain juga tidak bertujuan untuk menghukum atau untuk menanamkan kembali nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kepada pelaku pelanggaran, tetapi untuk memperbaiki atau mengganti kerugian-kerugian atau penderitaan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang terjadi. Model ini sangat didukung oleh bentuk masyarakat komunitarian, yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi juga ikatan kebudayaan yang kuat. Dengan melihat karakteristik ini model yang terakhir ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia.

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya tentang isu Deinstitusionalisasi penghukuman, terhadap anak, pidana penjara harus menjadi pilihan paling akhir. Dalam Beijing Rules, salah satu instrumen lain yang melindungi anak dalam konteks peradilan pidana, juga ditekankan, bahwa keputusan pengadilan untuk merehabilitasi anak delinkuen (anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan) seharusnya dilakukan secara non institusional melalui program-program yang mendekatkan mereka pada masyarakat, serta melalui mekanisme keadilan restoratif.

Terkait dengan sejumlah pembangunan hukum yang tengah dilakukan di Indonesia, upaya pembaharuan Sistem Pemasyarakatan akan sangat terkait dengan pembaruan dalam Sistem Peradilan Pidana secara umum. Oleh karenanya, perubahan-perubahan yang tengah dilakukan dalam hal penanganan kenakalan anak melalui perumusan Sistem Peradilan Pidana khusus anak perlu disambut baik. Selain itu, terkait pula dengan efektivitas perubahan, maka pembaharuan Sistem Pemasyarakatan yang spesifik anak ini perlu pula melihat sejumlah penelitian, rekomendasi atau program-program yang telah dilakukan oleh unsur masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga internasional, seperti UNICEF dalam upaya memperbaiki pola penanganan terhadap anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan.

6. Kelompok Rentan Lainnya
Isu perempuan dan anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dewasa ini masih belum mendapatkan perhatian khusus. Meskipun instrumen-instrumen internasional dan nasional telah mengatur dengan jelas, serta banyaknya unsur masyarakat sipil yang mendorong isu ini masuk dalam agenda kebijakan, namun keduanya belum cukup kuat untuk melakukan perubahan secara menyeluruh. Dalam kenyataannya, minimnya perhatian dalam agenda kebijakan juga terjadi pada kelompok rentan/minoritas lainnya; seperti kelompok usia tua (manula), orang cacat, serta kelompok dengan orientasi seksual berbeda. Termasuk dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, baik pada tingkat aturan hingga teknis di unit pelaksana teknis. Instrumen internasional telah memberikan pedoman tentang hal ini. Terkait dengan kebijakan khusus yang semestinya diberikan kepada orang cacat dan lanjut usia didasari oleh Konvensi Internasional Hak Penyandang Cacat 2006 dan UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, serta UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Sedangkan untuk kelompok dengan orientasi seksual berbeda dapat didasari oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. 

Hal yang ingin ditekankan oleh instrumen-instrumen ini adalah adanya perlakuan spesifik terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik kelompok rentan dan minoritas tersebut, serta melarang adanya tindakan-tindakan diskriminatif terlebih bila mengarah kepada penyiksaan. Terkait dengan hal ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyusun model pembimbingan, pelayanan dan pembinaan spesifik bagi kelompok-kelompok rentan dan minoritas ini, sebagaimana juga diperlukan terhadap anak dan perempuan. Selain itu, Sekretariat Jenderal Departemen perlu juga merencanakan dan menganggarkan aspek-aspek fasilitatif terkait dengan kebutuhan-kebutuhan spesifik anak, perempuan, dan kelompok-kelompok rentan ini.


C. Catatan Reflektif
Perkembangan pemidanaan di Indonesia memperlihatkan sebuah proses yang terus mencari bentuk. Filosofi dan model pemidanaan masa penjajahan yang sangat bersifat pembalasan dan penciptaan rasa takut untuk tujuan eksploitasi berubah ke arah resosialisasi pada masa awal Indonesia merdeka hingga akhirnya muncul Pemasyarakatan tahun 1964. Namun perkembangan tahun 1980-an hingga kini memberikan indikasi jelas adanya kompleksitas hambatan dalam pelaksanaan Pemasyarakatan sehingga sangat mungkin dipadukan dengan wacana-wacana baru dalam pemidanaan yang lebih maju.

Terkait dengan perkembangan filosofi dalam pemidanaan, Pemasyarakatan pada dasarnya telah sangat maju. Namun demikian, Pemasyarakatan juga perlu membuka diri terhadap perkembangan dalam filosofi penghukuman ini. Pasca filosofi Reintegrasi Sosial, berkembang pula kemudian filosofi-filosofi alternatif dalam pemidanaan, seperti community based correction dan restorative justice. Kedua filosofi ini sangat terkait erat dengan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh Pemasyarakatan itu sendiri, yaitu mengupayakan terintegrasinya kembali narapidana dengan masyarakatnya. Kedua filosofi, yang juga disebut sebagai model pemidanaan ini, sangat mungkin diprioritaskan pada kasus anak dan first offender, atau narapidana yang dengan proses formal akan pidana kurang dari satu tahun.

Beberapa upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah formalisasi pidana alternatif, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, perlu dilakukan upaya kesepahaman dengan sub sistem peradilan pidana lainnya agar beberapa alternatif dari pemenjaraan, yang sangat terkait dengan peran polisi, jaksa, dan hakim ini dapat diwujudkan. Dalam konteks Pemasyarakatan, yang dapat dilakukan adalah revitalisasi peran dari Bapas sebagai probation dan parole officer. Pada akhirnya, kesuksesan dari pelaksanaan alternatif dari pemenjaraan ini akan sangat ditentukan oleh dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi kepada publik tentang peran yang dapat dimainkannya dalam proses pemasyarakatan.

Terkait dengan kompleksitas permasalahan Sistem Pemasyarakatan, perlu dilakukan pembaruan. Perubahan aspek makro struktural yang dibutuhkan dalam hal ini adalah perubahan struktur ke arah yang lebih terdesentralisasi, yang tidak hanya terbatas pada aspek teknis seperti yang selama ini terjadi. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam proses kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta inisiasi kerjasama dengan pihak ketiga. Upaya-upaya perubahan ini baru dapat dilakukan dengan perubahan kerangka peraturan terkait dengan organisasi dan tata laksana Departemen Hukum dan HAM, Kantor Wilayah dan Direktorat. Terkait dengan proses kebijakan, diperlukan adanya peraturan khusus tentang proses kebijakan bottom up yang berbasis pada kebutuhan narapidana per UPT.

Dalam hal pengawasan, diperlukan penguatan pengawasan internal oleh atasan langsung, dan inspektorat pemasyarakatan. Selain itu, diperlukan pula penguatan pengawasan eksternal, khususnya oleh unsur masyarakat sipil. Untuk mewujudkannya, diperlukan konsistensi penyelesaian masalah pelanggaran administratif hingga pelanggaran pidana. Oleh karenanya diperlukan transparansi dalam proses pemeriksaan dan penindakan. Diperlukan pula laporan secara berkala kepada publik oleh inspektorat. Sementara untuk pengawasan eksternal, diperlukan aturan yang menjamin kunjungan berkala untuk pengawasan eksternal.

Terkait dengan upaya mewujudkan sinkronisasi kerja antar sub sistem peradilan pidana, diperlukan aturan pada level Undang-Undang, sehingga benar-benar terwujud apa yang disebut dengan Integrated Criminal Justice System. Untuk jangka pendek, dapat dibuat kesepahaman antara sub-sub sistem peradilan pidana tentang sinkronisasi kerja, khususnya untuk mendukung pemasyarakatan sebagai tujuan pemidanaan. Keberadaan aturan ini sekaligus menegaskan bahwa pemasyarakatan bukanlah hanya penghujung dari peradilan pidana, namun sudah mulai berperan saat proses pra-ajudikasi. Pada tingkat teknis, masing-masing sub sistem peradilan pidana dapat mengoptimalkan kewenangan diskresi atau diversi yang dimiliki untuk mengurangi kecenderungan memenjarakan sebanyak mungkin orang. Terlebih terhadap first offender dan anak, serta terpidana perempuan yang memiliki tanggungan.

Sementara itu, terkait dengan isu perempuan dan anak dalam sistem pemasyarakatan, saran berada dapat berada di level makro hingga mikro. Pada level makro, aspek yang berperan, pertama adalah nilai, prinsip, dan filosofi tentang pengarusutamaan gender dan kepentingan anak. Kedua, aturan-aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Termasuk dalam hal ini diperlukannya peraturan khusus tentang proses pemasyarakatan khusus anak dan perempuan. Pada level mikro, aspek yang berperan adalah diperlukannya aturan-aturan pelaksanaan tentang proses pemasyarakatan anak dan perempuan. Selain itu, pada level ini diperlukan pula intersifikasi serta diversifikasi pola dan substansi pembinaan bagi anak dan perempuan, dengan catatan harus berbasis pada kebutuhan spesifk anak dan perempuan.








BAB III

HUBUNGAN SISTEM PEMASYARAKATAN DENGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU



A.  Pelaksanaan Misi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

1. Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
Idealnya, cara pandang pembaruan Pemasyarakatan ditempatkan dalam kerangka bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu. Hal ini memungkinkan berbagai permasalahan pada sub sistem pemasyarakatan mendapat respon oleh sub sistem peradilan pidana yang lain.

Bekerjanya institusi-institusi penegak hukum dalam kerangka sistem yang terpadu, didasari oleh konsepsi Teori Sistem yang menjelaskan bahwa sistem merupakan suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi. Pendekatan sistem mengandung implikasi adanya suatu proses interaksi. Dalam kesatuan interaksi tersebut, masing-masing elemen berada dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lainnya saling bergantung (interdependent). Sebagai satu kesatuan maka suatu sistem tidak dapat dikenali jika ia dipisahkan atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan kesatuan tersebut. 

Dalam konteks sistem peradilan pidana, Pemasyarakatan merupakan institusi yang terintegrasi dengan sub sistem lainnya – yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, serta Advokat. Masing-masing memiliki bobot dan peran yang sama dalam bekerjanya sistem, sesuai dengan proporsi fungsi dan tugasnya, sebagaimana telah diatur melalui peraturan perundang-undangan.  Dari sini menjadi jelas bahwa sistem peradilan pidana terpadu merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, serta sikap tindak penegak hukum dan masyarakat. 

Misi Pemasyarakatan secara ideal sesungguhnya telah ditempatkan dalam jaring relasi pada sistem peradilan pidana terpadu, sebagaimana dirumuskan melalui Rencana Strategis Pembangunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2004 – 2009, yakni: Melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam rangka penegakan hukum, pencegahan, dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Dalam konteks interaksi ini, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan yang menggunakan hukum pidana materiil dan formil maupun hukum pelaksanaan pidana.  Sedangkan makna terpadu dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada sinkronisasi dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga penegak hukum, substansi dalam hukum positif (baik secara vertikal maupun horizontal), dan aspek kulturalnya dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari berjalannya sistem peradilan pidana. Adapun nilai-nilai dasar yang menjadi prinsip dari pendekatan sistem peradilan pidana yakni:
a. Menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, serta Advokat);
b. Menekankan adanya pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh seluruh komponen yang terlibat dalam sistem peradilan pidana;
c. Menempatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama daripada efisiensi penyelesaian perkara;
d. Mengoptimalkan penggunaan hukum sebagai instrumen dalam rangka untuk memantapkan administrasi peradilan pidana.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu harus diupayakan untuk meminimalisir adanya ego sektoral antar institusi penegak hukum. Konsep terpadu mengandung makna bahwa meskipun setiap institusi memiliki fungsi yang berbeda-beda dan berdiri sendiri tetapi harus mempunyai satu tujuan serta persepsi yang sama sehingga merupakan satu kekuatan yang utuh yang saling mengikat erat, baik dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Pada titik inilah konsep sistem Pemasyarakatan penting untuk diketahui oleh setiap aparat penegak hukum, sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu dapat menyelaraskan konsep Pemasyarakatan pada setiap tindakan maupun keputusan yang dihasilkan – khususnya pada kebijakan-kebijakan yang memiliki kaitan langsung dengan tugas dan fungsi Pemasyarakatan.

Namun demikian, pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang konsep Pemasyarakatan dan sistem peradilan pidana yang telah diuraikan di atas tidak seluruhnya dapat ditampung dalam peraturan perundang-undangan serta berbagai regulasi di tiap-tiap lembaga yang saat ini berlaku.  Terdapat kesenjangan antara dinamika perkembangan pemikiran dengan hukum (dalam arti sempit: peraturan perundang-undangan). Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Buku Satu yang mengatur mengenai Aturan Umum tidak menguraikan tujuan pemidanaan, padahal di buku satu tersebut memuat asas-asas hukum pidana nasional yang secara teoritis/normatif menjadi acuan dalam operasionalisasi hukum pidana.

Dalam perkembangannya Rancangan KUHP telah mencantumkan adanya tujuan pemidanaan yang di dalamnya memuat lima tujuan yaitu: Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Keempat, membebaskan rasa bersalah pada teridana; dan Kelima, memaafkan terpidana. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia (Lihat Pasal 54 Rancangan KUHP).

Melihat ketentuan tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP, terlihat bahwa konsepsi pemasyarakatan telah diadopsi dalam ketentuan hukum pidana yang akan berlaku di masa mendatang.

Hal lain yang perlu dijadikan bahan rujukan terkait dengan tujuan pemidanaan dan proses implementasi hukum pelaksanaan pidana adalah, peradilan pidana khusus anak yang saat ini tengah dibahas, yang menempatkan Bapas dalam kedudukan yang signifikan dalam proses peradilan pidana sejak penyidikan hingga tahapan pelaksanaan pidananya. 

Hanya saja pada dataran hukum proseduralnya, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjadi sarana untuk mengikat institusi yang terkoneksi dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, masih sangat sedikit memberikan peran Pemasyarakatan dalam bekerjanya peradilan pidana. Dalam KUHAP peran Pemasyarakatan dimuat pada pasal-pasal mengenai penahanan (Pasal 22) dan mengenai pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan (khususnya Pasal 281 dan Pasal 282). Selain KUHAP, dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, termuat aturan mengenai Rumah Tahanan Negara (Pasal 18 sampai dengan Pasal 25) dan mengenai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Pasal 26 sampai dengan Pasal 34).  Sedangkan Balai Pemasyarakatan eksistensinya ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Belum memadainya ketentuan peraturan perundang-undangan ini, khususnya dalam hal menjalin keterhubungan dan bagaimana mengelola kewenangan di antara sub sistemnya. Kondisi tersebut jika tidak diperhatikan dengan cermat dapat mengakibatkan degradasi muatan konsep sistem peradilan pidana terpadu menjadi hanya sebagai proses peradilan pidana semata. Mengingat bahwa sistem peradilan pidana mensyaratkan interkoneksi antar setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan, bukan relasi yang parsial ataupun sektoral.


2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan
Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan baik UPT Balai Pemasyarakatan, UPT Rumah Tahanan Negara, UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, maupun UPT Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan adalah belum terpahaminya konsep dan misi Pemasyarakatan pada lembaga penegak hukum lainnya.  Hal ini menciptakan kecenderungan tidak optimalnya kerja sistem Pemasyarakatan dalam tata peradilan pidana. Hal ini menjelaskan realitas hubungan antara lembaga-lembaga yang bernaung dalam sistem peradilan pidana yang masih kurang sinergis, khususnya dalam hal  interkoneksi di antara sub sistem peradilan pidana. 

Terkait dengan tugas-tugas Kepolisan di bidang penyidikan, Kejaksaan di bidang penuntutan (dan penyidikan), serta Pengadilan (hakim) dalam pemeriksaan di persidangan, terdapat beberapa kondisi yang kurang kondusif yang berimplikasi pada tidak maksimalnya pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Uraian dalam bagian ini akan memaparkan permasalahan-permasalahan UPT-UPT Pemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan misi Pemasyarakatan terkait dengan berkerjanya sistem peradilan pidana. 

Fenomena over kapasitas di berbagai UPT Pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan), merupakan salah satu gejala nyata tidak adanya sinergi dalam sistem peradilan pidana. Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, masing-masing lembaga penegak hukum tidak bisa menafikan permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum lainnya yang secara langsung atau tidak diakibatkan oleh kebijakan salah satu di antara lembaga-lembaga tersebut. Sebagai contoh adalah proses hukum terhadap tindak pidana narkotika dan obat terlarang yang semakin menunjukkan kecenderungan angka yang meningkat secara signifikan, khususnya yang mendapatkan vonis pidana penjara. 

Jumlah Tahanan dan Narapidana Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di  Rutan dan Lapas se Indonesia
jumlah
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 (februari)
napi/ tahanan
67.960
71.587
88.887
88.707
112.774
127.238
131.339
napi/tahanan narkotika
7.211
11.973
17.060
21.082
32.067
38.172
37.867
Data : diolah dari Presentasi Direktur Bina Khusus Narkotika dalam Rakernis Ditjen PAS 2008

Jumlah tahanan dan narapidana dalam perkara tindak pidana narkotika dan psikotropika dalam tabel di atas menunjukkan tren kenaikan. Padahal tidak semua terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang harus dipidana dengan hukuman penjara. Pemilahan terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar pertimbangan tertentu (misalnya, anak-anak atau status sebagai “pengguna” narkotika dan obat terlarang) tidak dilakukan, padahal sesungguhnya pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan mengetahui permasalahan-permasalahan kelebihan kapasitas yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.

Memang terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika, terdapat persoalan yuridis-normatif, terutama dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang menyebutkan bahwa perkara yang terkait dengan pasal-pasal pidana dalam kedua undang-undang tersebut harus didahulukan dari perkara tindak pidana lainnya untuk diajukan ke pengadilan.  Namun, patut dicermati pula bahwa dalam memeriksa perkara untuk pecandu narkotika, Pasal 47 menyebutkan bahwa hakim dapat memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan maupun perawatan.

Dengan kondisi warga binaan yang melebihi kapasitas tersebut, tugas dan fungsi pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak maksimal. Padahal terdapat kecenderungan bahwa kebanyakan warga binaan Pemasyarakatan dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang masuk dalam kualifikasi sebagai pengguna, yang semestinya mendapatkan rehabilitasi atau penyembuhan secara medis bukan sebagai narapidana di lembaga Pemasyarakatan. 

Fakta atau kecenderungan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa pendekatan sistem yang telah coba dibangun dasar-dasarnya dalam KUHAP belum berjalan dan berkembang secara memadai dalam praktik peradilan pidana selama ini. Semestinya tidak semua perkara harus sampai ke proses persidangan di pengadilan. Sistem harus bekerja untuk menyeleksi perkara-perkara yang akan diteruskan ke pengadilan, sebab sebagaimana telah diuraikan dalam bagian awal, dalam sistem peradilan pidana pemidanaan bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan.

Soal lain adalah UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang eksistensinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagai lembaga yang memiliki kewenangan atas penyimpanaan benda sitaan dan rampasan.  Melalui Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.05.UM.01.06 Tahun 1983 telah dijabarkan mengenai pengelolaan benda sitaan dan rampasan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang kemudian dijabarkan lagi dalam petunjuk teknisnya melalui Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Nomor: E1.35.PK.03.10 Tahun 2002. Kemudian dalam hal kerjasama antar negara, terkait dengan fungsi UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dinyatakan pada Pasal 45 ayat (1) sebagai lembaga yang berwenang untuk menyimpan barang, benda, atau harta kekayaan sitaan hasil dari tindak pidana yang berdimensi lintas negara.

Dalam praktiknya, banyak ditemukan penyimpanan benda sitaan dan rampasan dalam proses pidana yang tidak diserahkan atau setidaknya dilaporkan atau diinformasikan kepada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Kondisi ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum lainnya, khususnya di tingkat penyidikan dan penuntutan.  

Sementara itu terkait dengan kedudukan Cabang Rumah Tahanan Negara di Kepolisian dan Kejaksaan saat ini, masih kurang menempatkan Pemasyarakatan pada porsi kedudukannya yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pasal 18 ayat (2) ditegaskan bahwa semua Cabang Rumah Tahanan Negara berada di bawah pengawasan dari Rumah Tahanan Negara, mengingat pembentukan Cabang Rumah Tahanan Negara yang dibentuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Menteri.

Ke depannya, dengan adanya penambahan jumlah Rumah Tahanan Negara, selain diperlukan penguatan koordinasi dengan instansi Kepolisian dan Kejaksaan, secara bertahap keberadaan Cabang Rumah Tahanan Negara di luar lingkungan Pemasyarakatan diharapkan sudah tidak lagi diperlukan.  Hal yang sama juga berlaku pada Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dengan meningkatnya kualitas layanan dalam perawatan-pengelolaannya serta dengan adanya penambahan dari segi jumlah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, diharapkan keberadaan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara di luar lingkungan Pemasyarakatan tidak lagi diperlukan. Kedudukan Rumah Tahanan dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara sebagaimana diatur melalui peraturan perundang-undangan tersebut, hakikatnya adalah untuk menekankan penerapan sistem pengawasan atau kontrol lintas aparatur penegak hukum demi mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam jaring administrasi peradilan pidana.

Pada tingkatan UPT Lembaga Pemasyarakatan, kemacetan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menunjukkan lemahnya koordinasi di antara Pemasyarakatan dengan Pengadilan. Padahal di sini semestinya bisa dibawa semangat baru dalam konsep dan ruang operasionalisasi sistem peradilan pidana. Dalam KUHAP, telah diatur hubungan yang timbal balik di antara Kepala Lembaga Pemasyarakatan dengan Hakim Pengawas dan Pengamat. Dalam pasal 280 Hakim Pengawas dan Pengamat memiliki jangkauan tugas pengawasan untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian pula Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 281 KUHAP, atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat,  menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim.

Mahkamah Agung sendiri, sebenarnya telah menghasilkan beberapa surat edaran yang terkait dengan petunjuk pelaksanaan bagi Hakim Pengawas dan Pengamat, yakni Surat Edaran Nomor 3 tahun 1984 tentang Pelaksanaan Tugas Kimwasmat dan Surat Edaran Ketua MA Nomor 7 tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat. Melalui berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan tersebut revitalisasi kelembagaan Hakim Pengawas dan Pengamat dirasakan sangat penting untuk menjadi agenda perbaikan dan pembaruan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu.

Permasalahan lain sehubungan dalam sistem Pemasyarakatan yang juga patut dikaitkan dengan relasi antar sub sistem peradilan pidana adalah mengenai kebuntuan-kebuntuan aspek teknis administrasi (administrasi peradilan pidana) yang diakibatkan adanya kekosongan maupun kekurangjelasan aturan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, permasalahan prosedural menyangkut upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana (grasi) terkait dengan pelaksanaan eksekusi mati, yang secara teoritik sebenarnya dapat dipecahkan dengan kerjasama dan koordinasi antar institusi terkait. Tanpa adanya kerjasama dan koordinasi, akan tercipta suasana ketidakpastian yang akan mempengaruhi pula tugas-tugas Pemasyarakatan, seperti pembinaan dan pembimbingan. Sebagai satu sistem, di atas kertas seharusnya kebuntuan-kebuntuan peraturan perundangan ini dapat dipecahkan. Secara kongkrit kerjasama dan koordinasi ini dapat menghasilkan aturan-aturan teknis yang disepakati oleh masing-masing institusi.  

3. Saran Tindak
a.       Direktorat Jenderal Pemasyarakatan penting untuk mendorong adanya desk khusus yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-udangan maupun relasi lintas institusi yang terkait dengan bekerjanya sistem peradilan pidana.
b.      Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu merumuskan pokok-pokok pikiran dan usulan rekomendasi terkait dengan perbaikan peraturan perundang-undangan yang dapat menempatkan lembaga-lembaga penegak hukum sebagai kesatuan elemen dari sistem peradilan pidana yang terpadu. Penyempurnaan terhadap KUHP, KUHAP, dan Undang-undang Pengadilan Anak seharusnya menjadi prioritas; perlu dipertimbangkan pula adanya Undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai bekerjanya sistem peradilan pidana yang terkait dengan pembagian fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga; perubahan Undang-undang tentang Pemasyarakatan terkait dengan penguatan posisi Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana; dan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal tertentu atas undang-undang yang berpotensi untuk memidanakan orang dengan pidana penjara dan berimplikasi terhadap fenomena over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (seperti  Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang Nonor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika serta undang-undang lainnya yang dapat memicu over kapasitas).

4. Indikator Keberhasilan
a.       Terbentuknya Desk Khusus Koordinasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, yang terdiri setidaknya oleh Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, KPK, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dikoordinasikan oleh Kementrian Menteri Hukum dan HAM.
b.      Konsep dan Misi Pemasyarakatan dapat diadopsi secara utuh dalam KUHP, KUHAP, dan UU Peradilan Pidana Anak yang baru. Dalam KUHP materi mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan jenis-jenis pidana yang berorientasi selaras dengan konsep Pemasyarakatan.  Sedangkan dalam KUHAP memuat kedudukan Balai Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lingkup kewenangan Pemasyarakatan sesuai dengan fungsinya dalam sistem peradilan terpadu. 
c.       Tersusunnya Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
d.      Tersusunnya Perbaikan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Pemasyarakatan
e.       Tersusunnya pokok-pokok pikiran dan rekomendasi perbaikan terhadap berrbagai undang-undang yang memiliki kecenderungan untuk memicu over kapasitas


B. Petugas Pemasyarakatan dan Bekerjanya Administrasi Peradilan Pidana.

1.      Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
KUHAP sebagai hukum pidana formil/prosedural memiliki peran untuk menjadi jembatan yang menghubungkan bekerjanya masing-masing sub sistem peradilan pidana.  Dalam hukum acara yang diatur di KUHAP terdapat empat tahapan pelaksanaan beracara, yakni: Pertama, tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi; kedua, tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa; ketiga, tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan; dan keempat, tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa serta Lembaga Pemasyarakatan di bawah pengawasan Ketua Pengadilan.  Dalam pentahapan dan pembagian kewenangan di masing-masing tahapan pelaksanaan beracara menandakan garis kebijakan KUHAP sebagai mekanisme yang terpadu dalam operasionalisasi administrasi peradilan pidana.

Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga pembinaan Pemasyarakatan.  Sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Penegakan atas integritas profesi Petugas Pemasyarakatan tersebut meliputi fungsi dan tugas dalam rangka pelayanan di Rumah Tahanan, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, pembimbingan melalui Bapas, dan pengelolaan di Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara.

Dalam konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan, posisi petugas Pemasyarakatan ditempatkan dalam lintas relasi yang setara yang merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan  pidana yang terpadu. Namun, kondisi saat ini, belum memberikan apresiasi dan penghormatan pada petugas Pemasyarakatan secara memadai dari lingkungan penegak hukum lainnya. Pemasyarakatan diposisikan hanya sebagai ujung dari proses peradilan pidana yang berjalan. Secara normatif memang terdapat permasalahan yang cukup krusial mengenai posisi Pemasyarakatan yang ditempatkan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan pada tata peradilan pidana.  Hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 Undang-undang tentang Pemasyarakatan. Namun jika menengok tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan dalam undang-undang tersebut, maka sebenarnya penempataan yang demikian sangat tidak tepat, mengingat Pemasyarakatan telah berperan sejak awal pada saat proses peradilan pidana mulai bekerja.  Dengan kondisi ini tentunya diperlukan penguatan posisi Pemasyarakatan di tengah-tengah bekerjanya sistem peradilan pidana. 

2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan

Berdasarkan KUHAP serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan administrasi peradilan pidana, Petugas Pemasyarakatan telah bekerja untuk menjalankan fungsinya sejak pre adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi. Balai Pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 34, menunjukkan peran Pembimbing Kemasyarakatan di semua lini tahapan proses penanganan perkara pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan putusan.  Posisi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang berwenang secara fisik dan administratif juga mencakup tahapan pre adjudikasi hingga post adjudikasi. Peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Rumah Tahanan Negara menguatkan kedudukan Pemasyarakatan bukan sebagai akhir dari proses peradilan pidana. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana garis koordinasi dan interkoneksi antar lembaga penegak hukum untuk melaksanakan tahapan acara pidana menunjukkan diferensiasi fungsional dari masing-masing lembaga. Pada titik ini terdapat kerentanan terjadinya ego sektoral dari masing-masing lembaga. Terdapat kecenderungan dalam praktik selama ini yang menunjukkan Pemasyarakatan kurang memiliki kekuatan tawar yang kuat terhadap tiga institusi lainnya, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. 

Permasalahan umum yang seringkali dihadapi oleh Balai Pemasyarakatan adalah mengenai kedudukan Pembimbing Kemasyarakatan dalam proses pemeriksaan di muka sidang yang kurang ditempatkan sebagai faktor penting untuk memberikan pertimbangan serta masukan bagi penuntut umum dan hakim dalam perumusan dakwaan dan tuntutan serta penyusunan putusan pengadilan.  Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 55 dan 56 ditegaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan wajib hadir di persidangan.  Melalui pasal tersebut dinyatakan pula hakim wajib memberikan kesempatan bagi Pembimbing Kemasyarakatan untuk menyampaikan penelitian kemasyarakatan sebelum sidang dibuka.  Dalam praktiknya, kedudukan Balai Pemasyarakatan selaku Pembimbing Kemasyarakatan tidak ditempatkan pada porsi yang sepatutnya untuk memberikan masukan substansi (rekomendasi penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) bagi penyusunan dakwaan ataupu tuntutan dan putusan.  Ada dua faktor penting yang menjadikan kondisi tersebut, yakni Penyidik, Penuntut Umum, serta Hakim yang tidak melihat signifikansi peran dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dan/atau faktor kualitas hasil penelitian kemasyarakatan yang kurang memadai sehingga masukan dari Pembimbing Kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam proses penanganan perkara pidana. 

Permasalahan umum yang dihadapi oleh UPT Rumah Tahanan Negara adalah mengenai surat penahanan yang telah habis/perlu perpanjangan surat penahanan namun tidak bisa berjalan secara baik karena tidak adanya koordinasi yang baik dengan pihak kepolisian.  Hal yang sama juga terjadi dalam tahap penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hingga putusan. Juga pada tahapan pemeriksaan di muka sidang terkait dengan ekstrak vonis, yang tidak seketika dapat diterima suratnya oleh UPT Rumah Tahanan Negara setelah terdakwa menjadi terpidana.  Dalam KUHAP sendiri Pasal 200 mengharuskan surat putusan untuk ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan, hal ini dimaksudkan agar ketentuan tersebut memberikan kepastian bagi terdakwa. Khusus untuk terdakwa yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 5 tahun 2001 telah memerintahkan Pengadilan Negeri agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan dibacakan dan pada saat itu telah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis).

Penekanan proporsi fungsi dan peran di antara subsistem peradilan pidana, terkait dengan Petugas Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara maupun di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara adalah pembagian tanggung jawab yang menurut Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 dibedakan menjadi dua yakni tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab fisik. Tanggung jawab secara fisik terhadap tahanan dan benda sitaan/rampasan menurut peraturan adalah menjadi tanggung jawab dari Pemasyarakatan (Petugas Pemasyarakatan).  Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) untuk Rumah Tahanan Negara dan Pasal 30 ayat (2) dan (3) untuk Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara. 

Lebih lanjut, berkenaan dengan hubungan Rumah Tahanan Negara dengan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam Pasal 38 ayat (3) KUHAP memerintahkan Kepala Cabang Rutan untuk memberikan laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala Rutan.  Untuk itulah dalam penegasan penguatan posisi Pemasyarakatan, penting untuk dilakukan langkah-langkah khusus mengenai pengawasan dan pembinaan tahanan di cabang rumah tahanan yang ada di Kepolisian dan Kejaksaan agar terjadi sinergi dalam menjalankan sistem administrasi peradilan pidana yang menempatkan hukum dan hak asasi manusia sebagai standar bersama. Hal yang sama juga berlaku pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 juga menegaskan kedudukan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang dibentuk oleh Menteri. Pasal 39 ayat (3) memerintahkan bahwa sebelum dibentuk Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, penyimpanan benda sitaan yang dilakukan di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tiap enam bulan sekali.

Hal lain yang perlu dikemukakan adalah adanya aspirasi di kalangan Pemasyarakatan untuk menambah kewenangan petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).  Kewenangan penyidikan tersebut tersebut dimaksudkan hanya terbatas pada perkara pidana yang melibatkan narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.  Kewenangan sebagai PPNS tentunya memiliki spesifikasi dan kualifikasi terentu, sehingga tidak semua petugas Pemasyarakatan bisa menjadi penyidik PPNS.  Pembatasan jumlah penyidik tersebut bisa juga dilakukan dengan cara pemusatan Penyidik PPNS di Direktorat Jenderal atau  pembatasan dari segi jumlah pada setiap UPT atau Penyidik PPNS tersebut yang berada di bawah koordinasi dari Kadiv Pemasyarakatan di Kantor Wilayah. Dalam kerangka kerjasama dengan institusi Penyidik, pelaksanaannya selama ini di dalam Lembaga Pemasyarakatan juga telah dibentuk Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan yang secara teknis telah bekerjasama dengan Kepolisan melalui nota kesepahaman yang disusun dengan Pemasyarakatan. 

3. Saran Tindak
a.       Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun rancangan dokumen kebijakan yang isinya adalah mengarahkan UPT Balai Pemasyarakatan untuk mendorong peran aktif Pembimbing Kemasyarakatan untuk terlibat dalam tahap pre adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi dalam proses pemeriksaan perkara pidana;
b.      Direktorat Jenderal perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun rancangan naskah kebijakan mengenai pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang berada di institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
c.       Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk merumuskan kebijakan yang dapat mendorong keterpaduan administratif peradilan pidana dan pengembangan kerjasama lintas institusi yang diinisiasi oleh UPT Pemasyarakatan dalam kaitannya dengan persinggungan antara tugas-fungsi Pemasyarakatan dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.  Misalnya kerjasama dan koordinasi terkait dengan adminitrasi tahanan/registrasi dalam konteks tukar-menukar data kriminal (data sidik jari dan identitas tersangka),  pengeluaran tahanan demi hukum, serta mengenai ekstrak vonis yang dapat disederhanakan lagi dengan berita acara yang tentunya akan memudahkan administasi peradilan pidana ditingkat UPT Pemasyarakatan.
d.      Pentingnya kajian mengenai signifikansi penambahan kewenangan Petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

4. Indikator Keberhasilan
a.       Dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan tentang Penguatan Peran Pembimbing Kemasyarakatan dengan lampiran berupa pedoman kerja pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan.
b.      Tersusunnya Naskah Akademis Usulan Perumusan Kebijakan Pengelolaan Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Departemen Hukum dan HAM.
c.       Tersusunnya Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengeluaran Tahanan Demi Hukum dan Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Data Kriminal.
d.      Tersusunnya naskah akademik atau kertas kerja mengenai kajian penambahan kewenangan Petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.